"Agas?" Satu kata lirih keluar begitu saja saat maniknya menangkap kehadiran saudaranya yang duduk tepat di sebelah Dika.
Degup jantungnya terdengar menggema di kepalanya sendiri, tangannya bergetar kecil mengepal erat.
Agassa yang melihat kehadiran nyata kembarannya di depan sana terdiam terpaku, maniknya menatap lekat wajah sang adik yang selama ini di carinya, perasaan bahagia menyeruak dalam hati. Senyum tipisnya tersungging, disana sang adik benar-benar ada di hadapannya, bukanlah mimpi biasa seperti malam-malam yang telah berlalu.
"Lev!" Reflek, ia berdiri meskipun harus secara pelan dan bertumpu pada meja, tatapannya tak berpaling sedikitpun, dan disana menggenang air mata yang membuat pandangannya memburam.
Agassa dengan cepat menyekanya. "Apa kabar?"
Keterkejutan tak dapat di elaknya, Levin total diam tak berkutik dengan perasaan campur aduk yang memenuhi hatinya. Maniknya menatap lekat wajah itu, bohong jika ia tak merindukan Agassa, dalam lubuk hatinya, ia sangat ingin berlari memeluk kakaknya dan menangis lagi di pundaknya.
Tetapi, Levin tak ingin kembali membahayakan pemuda baik itu.
"Lo ngapain?"
Pertanyaan yang terdengar dingin itu menusuk telinga Agassa, wajah datar tanpa ekspresi disana sungguh membuat retina Agassa terluka. Ia tahu jika Levin memang terkadang memiliki emosi yang buruk, tetapi saat ini, pemuda itu terlihat sangat tak senang bertemu dengannya.
"Lev-"
"Ngapain lo kesini?!!" Nada suara itu naik, urat lehernya terlihat begitu kentara dengan rahangnya yang mengeras, kedua tangannya terkepal kuat di sisi tubuhnya. Sekejap, semua orang yang berada disana tersentak dengan suara Levin.
Termasuk Agassa yang kini terdiam menatapnya.
Dika mengamati, lelaki dewasa itu ingin tahu bagaimana hubungan keduanya yang kini terlihat buruk. sepertinya ada sesuatu di antara mereka.
Netra Levin beralih menatap Dika, tatapan tajam seolah menuntut sebuah jawaban. Sesuatu bergemuruh di dalam hatinya, rasa marah yang bercampur dengan rasa tak terima saat ia di pertemukan dengan kembarannya. Dengan gerakan tiba-tiba ia melangkah mendekati si polisi, di batasi dengan meja yang memisahkan, Levin meraih kerah seragam Dika kuat hingga membuat pria paruh baya itu berdiri.
Membuat si sipir langsung bergerak cepat berusaha memisahkan sang narapidana dari Dika.
Tangan kanannya terasa diremat erat, tubuhnya di tarik paksa untuk menyingkir. Maka dengan reflek, Levin menyentak tubuh sipir itu hingga terlepas dari tubuhnya tanpa melepaskan cengkeramannya pada Dika.
"Gue bilang gausah bawa-bawa dia!" Suaranya pelan tetapi penuh tekanan, Levin sungguh tak suka dengan apa yang Dika perbuat saat ini.
Sedangkan lelaki paruh baya itu, hanya diam tanpa berniat melawan pemuda itu sama sekali. Ia masih ingin tahu, apa yang membuat Levin sangat marah padahal pemuda itu tak pernah menunjukkan emosinya sama sekali.
Melihat keributan itu, Agassa mendekat perlahan pada sang adik dengan bantuan meja di depannya.
"Mau ngancem gue?! Hah?!"
"Lo yang gabisa kerja gausah nyusahin orang lain cok!!"
Tangan Agassa terangkat, menyentuh pundak kembarannya pelan hingga pada akhirnya di tepis begitu saja sedetik kemudian. Dan tepisan itu, tepat mengenai luka goresan yang cukup lebar di punggung tangannya.
Reflek Agassa meringis tanpa di sadarinya. "Ashhh.."
Membuat Levin langsung melepas cengkeramnya di sertai dorongan kuat pada dada Dika. Sang sipir langsung menahan kedua tangannya cepat, membuatnya menyentak kembali sipir itu hingga terlepas. "Gausah pegang gue!!"
YOU ARE READING
A 和 A
Teen FictionAgassa, pemuda itu tak pernah menyerah untuk mencari keberadaan sang adik yang tiba-tiba menghilang dari kehidupannya. Alevin, adik dari Agassa yang selalu menghindari sang kakak karena takut Agassa akan dalam bahaya jika bersamanya. Cerita ini epi...
