Fokusnya langsung kembali pada kembarannya, di tatapnya lekat Agassa yang tengah memegangi tangan kanannya sendiri, Alevin baru menyadari jika ada yang salah dengan kakaknya itu.

Tubuh Agassa terlihat memiliki banyak bekas luka yang masih terlihat basah. Bahkan, ia baru sadar jika Agassa hanya memakai pakaian serba pendek saat ini, padahal pemuda itu tak suka memamerkan kulitnya.

Sang sipir yang telah berdiri dengan tegap, ingin kembali mencekal Alevin sebelum pemuda itu bertindak lebih jauh. Namun, Dika mengusirnya lagi dan memintanya untuk tidak menganggu mereka saat ini.

Jantung Levin yang sedari tadi berdegup kencang kini terasa merosot begitu saja. Siapa yang melukainya? Apakah luka itu karenanya? Apakah Dika benar-benar tidak berbohong dengan ucapannya?

Lagi, yang kedua kalinya, Levin menarik kerah Dika dengan emosi yang mencapai ubun-ubun. "Lo apain dia hah?!" Suaranya meninggi, tepat di depan wajah Dika, ia berteriak tanpa peduli jika pria itu lebih tua dan memiliki jabatan tinggi di kepolisian.

Senyuman tipis tampak berwibawa di wajah keriput Dika, satu hal yang dapat disimpulkan nya saat ini. Menggunakan Agassa untuk memancing Alevin adalah keputusasaan yang sangat tepat. "Memangnya aku apakan saudaramu?"

Mendengarnya, cengkraman di kerah seragam Dika semakin menguat, ia merasa seperti di remehkan oleh Dika. "Bangsat!!" Tangan Levin terangkat tinggi, mengepal kuat dan bersiap untuk mendarat di wajah lelaki paruh baya itu.

Namun, Agassa menahannya kuat sehingga membuat tangan Levin terasa sakit di pergelangannya. "Lev!" Satu kata keluar dengan punuh ancaman dari bilah bibir Agassa.

Levin menoleh, manik tajamnya bertubrukan langsung dengan manik doe sang kakak yang menatapnya tak kalah tajam. Ia mencoba melepaskan tangannya, namun genggaman tangan Agassa sungguh tak bisa dianggap remeh olehnya.

"Lepasin dia!" Sekali lagi, nada suara itu terdengar tegas tak seperti sebelumnya, tanpa peduli jika cengkeramnya akan menyakiti Levin nanti, Agassa total membuang rasa rindunya untuk sesaat.

Dengan berat hati Levin melepaskan kerah baju Dika, dan saat itu pula Agassa juga melepaskan tangannya yang kini terlihat memerah membekas.

"Bisa tinggalkan kami berdua?" Bola mata Agassa tertuju pada Dika.

Polisi itu tersenyum dan tanpa berkata-kata ia langsung bangkit dari tempat duduknya. Berjalan keluar dengan postur tegapnya di ikuti Hansen yang hanya memperhatikan.

Pintu di kunci dari luar, jendela yang tertutup dan teralis besi terpasang apik tak memungkinkan siapapun untuk kabur atau bahkan menyusup.

Levin berdecak, berjalan menuju kursi kosong yang akan menjadi tempatnya duduk. Namun lagi-lagi, matanya menangkap pergerakan aneh Agassa yang berjalan sangat pelan dengan kaki pincang. Kedua alisnya mengernyit, maka belum sempat ia mendudukkan diri, kakinya lebih dulu menghampiri Agassa dan memapahnya pelan.

Gerakan tiba-tiba yang dilakukan Alevin membuat Agassa sedikit terkejut, kepala dengan surai hitam legam itu sudah berada di bawah ketiaknya tanpa di perintah. Merangkulnya dengan sentuhan pelan dan membantunya untuk duduk di kursi yang sebelumnya ia duduki.

"Thanks." Bilah bibirnya sungguh tak tahan untuk melengkung naik, hatinya terasa berbunga dengan perut yang di gelitik oleh kupu-kupu. Agassa merasa begitu senang mendapatkan perhatian kecil itu.

Yang lebih muda kembali pada kursinya, duduk dengan posisi tak jauh dari sang kembaran dan langsung bersandar dengan tangan yang terlipat di depan dada.

"Lev—" Suara Agassa menjadi satu-satunya bunyi di ruangan itu beradu dengan lirihnya AC. Sangat banyak yang ingin ia bicarakan, namun entah mengapa saat ini dirinya seperti kehilangan kata-kata saat sudah bertemu dengan adiknya.

A 和 AHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin