04. Abraham Collins

2.2K 303 28
                                    

Michael, Makayla, dan Lyla berjalan beriringan menuju stand Photography yang dimaksud Lyla. Makayla merasa tidak nyaman saat Michael terus-terusan membidik kameranya pada Lyla yang berada di tengah-tengah mereka. Entah mengapa perasaan tidak suka merasuki jiwa Makayla. Kenapa Lyla seperti tidak sadar jika Michael terus mencuri gambar wajahnya untuk ia koleksi di memori kameranya? Kenapa Lyla seperti sengaja ingin memberikan apa yang Michael inginkan? Apa Lyla menyukai Michael? Batin Makayla terus memaksanya mencari kepastian. Tapi, Makayla adalah Makayla. Jangankan bertanya banyak seperti itu. Meminta memisahkan diri saja Makayla sudah tak bisa.

“Sebentar ya? Setelah kita mengantar Michael, kita langsung ke kelas. Tenang saja, kau datang bersamaku. Tak akan ada yang berani memarahimu.” Bisik Lyla pada Makayla. Makayla mengangguk kaku tak berani melakukan apa pun. Apa lagi jika Michael sudah menatapnya dengan kejam.

Beberapa saat kemudian, mereka sampai di sebuah ruangan setelah Lyla terus berkutat dengan ponselnya. Lyla menghela napas lelah dan menyeka keringat di dahinya yang sebenarnya tidak ada.

“Sial! Mereka tidak membuat stand.” Gumam Lyla kesal. Michael mengerutkan halisnya. Bukankah setiap ekskul membuat stand masing-masing? Kenapa mereka seperti tak mau menerima peserta baru? Apa yang dikatakan Adam benar jika demo tadi hanya formalitas saja? Pikir Michael.

Lyla membuka pintu ruangan itu baru setelahnya Michael dan Makayla masuk mengikuti Lyla.

“Abraham!” Lyla berteriak pada ruangan kosong ini. Benar-benar kosong. Bahkan jendela pun yang seharusnya menjadi kriteria ruangan yang baik tidak ada.  Ruangan ini berbentuk kotak dengan cat putih polos yang sudah usang. Ada tiga ruangan lain yang memanjang di sisi ruangannya. Masing-masing memiliki pintu kayu yang terlihat kuat dan baru dipasang. Makayla menunduk untuk mencari suara cicitan tikus yang sangat mengganggu. Dan matanya mengerenyit jijik saat tatapannya bertemu dengan seekor tikus yang cukup besar. Ruangan apa ini? Batin Michael dan Makayla bersahutan. Jika mereka pikirkan baik-baik, ruangan photography tidak seharusnya seperti ini. Setidaknya ada lampu dan background atau laptop dan kamera yang berjejer. Tapi ini? Tidak ada sama sekali, tepatnya tidak ada benda apa pun.

“Aku bilang datang sendiri Lyla.” Tiba-tiba suara besar itu menggema di setiap sudut ruangan. Lelaki yang bisa diprediksikan berperawakan gendut dan berkulit hitam ini. Saat ia keluar, ternyata prediksi Makayla salah. Dia lelaki cukup dewasa yang kurus dan berkulit putih. Pirang dan bermata biru. Usianya kurang-lebih sekitar tiga puluhan.

“SMS-mu baru sampai.” Lyla melambaikan ponselnya masih semangat seolah tak melihat keganjilan yang Michael dan Makayla rasakan.

“Kemari.” Kata lelaki yang mungkin bernama Abraham ini dengan dingin. Mereka bertiga melangkah sebelum Abraham memotongnya. “Hanya Lyla.” Michael dan Makayla pun langsung menghentikan langkahnya.

Dengan langkah yang inosens, Lyla menghampiri Abraham. Ada kekhawatiran di batin Makayla saat melihat temannya melangkah ke sana. Lyla dan Abraham masuk ke salah satu ruangan seperti tak mau obrolannya terdengar oleh Michael dan Makayla.

Lyla dan Abraham terlibat obrolan yang sangat panjang sehingga memaksa Michael dan Makayla terjebak dalam satu ruangan berdua. Keringat dingin sudah membanjiri telapak tangan Makayla. Tak tahu mengapa Makayla kerap kali merasa gugup ketika melihat Michael. Bahkan ia sudah beberapa kali menelan ludahnya sendiri.

Michael melirik pada gadis yang tak bisa diam di sebelahnya ini.

“Kenapa sih?” kata-kata itu menghentak Makayla dan ia langsung diam mematung menghentikan aktivitas bodohnya.

“Tidak.” Makayla menjawab dengan pelan.

Michael mendelikkan matanya dengan kesal. Tempramen Michael selalu saja tumbuh jika sudah bertemu dengan gadis ini.

(TERBIT) Things I CanWhere stories live. Discover now