[FOLLOW SEBELUM BACA]
Bagaimana jika introvert memiliki kelas sendiri?
INTROVERT CLASS, seperti namanya, kelas ini berisi sekumpulan siswa-siswa yang memiliki jiwa introvert. Kelas yang berdiri selama 30 tahun lamanya, namun keberadaannya tak diketa...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
_____
DAHULU tempat itu bukanlah sebuah hutan rimbun tanpa ujung, hanya karena satu tragedi membuat perubahan besar pada bangunan itu dan bangunan sekitarnya. Menceritakan sejarah kelam masa lalunya membuat sosok laki-laki itu teringat peristiwa yang terjadi sebelum terbentuknya kelas itu.
Kala itu penduduk belum banyak. Rumah satu dengan lainnya masih berjauhan. Listrik belum masuk, lampu teplok masih merajalela di setiap jalan, dan perkembangan teknologi belum pesat, seperti sekarang. Semuanya masih serba sendiri. Kalau menginginkan sesuatu, harus berjuang sendiri.
Tahun 1969.
Peristiwa tragis yang terjadi pada tahun itu masih begitu melekat di ingatannya. Dalam masa transisi menuju Orde Baru setelah empat tahun lalu orang tuanya terbunuh tanpa motif yang jelas. Dia ingat sekali, waktu kejadian itu dia genap umur delapan tahun.
"MBAH YUT!" Tangisannya meledak saat itu juga. Menyaksikan langsung seseorang yang selalu bersamanya tewas terkena tembakan di leher membuat anak laki-laki yang masih terlalu kecil itu harus menyaksikan pemandangan keji tersebut.
Dengan mata kepalanya sendiri, dia melihat jelas darah bercucuran di urat leher kakeknya yang telah berkerut. Peluru itu menghantam hebat kakeknya, hingga terbaring, tak sanggup menahan tubuh.
"Mbok ... Mbok, nindakake opo sih?" Anak laki-laki itu menyergap, lalu lari menerobos ayah dan kakaknya yang keukeh menghalanginya. Saat langkahnya di tepi, dia roboh, duduk lusuh tak berdaya meratapi kakeknya yang harus pergi dengan kondisi yang begitu naas.
Pardi langsung memeluk tubuh kakeknya yang penuh darah. Tangannya bergetar hebat. Darah-darah yang terus menetes tercampur dengan air matanya yang jatuh.
"Mbok ala! Pardi emo karo Simbok!!"
"SIMBOK ALA!" teriak Pardi keras sekali. Emosinya tak terkontrol.
Seumur hidup trauma itu selalu menggelayuti dirinya. Luka itu tak baik disimpan terlalu lama. Tetapi, dia benar-benar tak mengerti cara untuk menghapusnya. Dia rasa, tak ada obat yang dapat menyembuhkan itu.
"Sinten pelaku pembunuhan iku, Mbah?" Pertanyaan cowok di hadapannya membuat sosok itu tersadar dari memori pahit hidupnya.
Sosok itu tertegun. Andai waktu bisa terulang kembali, sosok itu pasti akan memperbaiki sejarah, mencegah kematian anggota keluarganya. Seharusnya orang-orang tak punya hati seperti mereka yang harus dimusnahkan.
Sosok laki-laki beruban itu tersenyum sambil mengelus rambut hitam cowok di depannya yang sudah menginjak remaja. "Sekolah sing sregep, Ndong. Aja nganti ati ala nguasai pikiranmu."
_____
"Sumpah, gue udah cape banget ..."
Sudah beberapa kali mimpi buruk itu datang setiap malam. Dan untuk kedua kalinya cowok itu harus terbangun di malam hari. Dan seterusnya, pasti matanya tak mampu terlelap lagi. Dia tak ingin liburan sekolahnya kali ini menjadi berantakan.
"Gak, gak." Cowok berpiyama biru dongker itu menggeleng keras. "Ini bukan pertanda buruk. Ini cuman ketakutan gue yang berlebihan."
"Kalo pun yang gue lakuin ini mirip psycho ... this is not like a devil."
Cowok bergigi gingsul itu terkekeh, "Introver pun pasti akan melakukan ini."
_____
Semerbak aroma anyir mengeruak memenuhi ruangan. Sungguh rasanya mual. Suara tetesan yang terus berderai menusuk telinga. Suaranya terdengar tak nyaman didengar.
"Dimana ini?" Lamat-lamat Nuzello membuka matanya.
Sarah yang di sebelah Nuzello, gadis berambut keriting dengan pita merah yang mengikat kepang rambutnya itu menggosok-gosokkan kedua pandangannya yang masih samar. "Tempat apa, ini?"
Madaharsa yang berhadapan sejajar dengan posisi kursi Nuzello, dia menepuk bahu Zero-yang duduk di samping kanannya-dan Jhanu-samping kirinya. Terlihat lainnya juga mulai membuka kedua matanya.
Sepuluh siswa itu kini duduk di kursi berdempetan membentuk lingkaran. Kedua tangan dan kaki diikatkan ke kaki-kaki kursi. Mereka berusaha melepaskan diri, tapi pergerakannya sia-sia, kursi seolah dilem dua ember dengan lantai yang penuh debu ini.
Ruangan ini gelap dan berkabut tipis, sekelilingnya seperti dikerumuni gumpalan asap, hanya sekilas tampak siluet jendela dan pintu yang tertutup rapat di ujung lorong. Cahaya lampu yang remang-remang hanya menyinari lingkaran tempat duduk mereka.
"Kalian sudah bangun?"
Mereka tersentak bingung. Suara itu suara Master Cacti, tapi di sini tak ada orang lain selain mereka sendiri. Mereka mengecek sekitarnya. Kini mereka merasakan perasaan diawasi saat udara dingin malam luar mulai menyergap.
"Master?" ucap Dencya memastikan ada orang selain mereka.
"Master ada di mana?" Ozil kini bersuara.
"Master Cacti," lanjut Nuzello memanggil lirih.
Tidak ada jawaban. Senyap.
Satu tetesan bertekstur kental jatuh, menembus pundak kemeja putihnya. Jhanu-yang merasakan aroma busuk, dia segera mendongakkan kepalanya ke atas.
Tiba-tiba Snowly berteriak histeris. Lainnya yang kaget pun langsung melihat ke atas. Mereka ternganga tak percaya, terutama Jhanu yang kini melirik bekas tetesan darah di kemejanya.
Tepat di atas mereka ada seorang perempuan bersimbah darah. Tubuhnya digantung di seka-seka besi tempat lampu halogen. Satu tetes per tetes darah yang mengalir dari urat lehernya terus menghujani sepuluh siswa itu.
"S-si-a-apa itu?" Mereka saling menatap satu sama lain. Tak terbayang jika lampu di atas menyala, perempuan yang hampir tak mempunyai kepala itu pasti terlihat jelas ngerinya.
Alunan musik klasik yang semulanya samar-samar mulai terdengar jelas. Penglihatan mereka mengikuti arah suara yang mendekat.
"Kalian sudah ingat kejadian semalam?"
"Master ..." Semuanya tertegun mendapatkan 10 master sudah berdiri di belakang mereka.
"Siapa p-perempuan itu, Master?" tanya Snowly, takut, tetapi berusaha melirik ke atas.
"Kenapa Master melakukan ini?"
Satu Master pun tak ada yang menjawab. Mereka bungkam.
"Ini alasan Master membius kita, HA?!" Tiba-tiba Dencya berdecak ketus sambil berdiri. Dengan beraninya satu alisnya terangkat.
"Bius?" tukas Zero. Cowok itu lalu menatap nyalang. "Aku ingat kejadian semalam. Master Fern, kan yang membuka saat pelajaran aku."
"Seperempat dari kue yang diberikan semalam itu sudah Master beri obat bius!" timpal Dencya menatap tajam para master, terutama tertuju pada Master Lily. "Saya sudah paham rencana Master semua!"
Jhanu mendesis, "Culak!"
"Pintar sekali kamu, Dencya." Master Lily bertepuk tangan beberapa kali. "Great!" Kemudian dengan senyuman hangatnya Master Lavender menjelaskan, "Kami memang sengaja membius kalian. Itu salah satu bentuk aplikasi dari kurikulum di Introvert Class."
Master Bonsai terkekeh sejenak. "Tapi tenang saja, kalian baik-baik saja kok. Bius itu hanya obat tidur, dan efek amnesia hanya sekilas."
"Oke ..." Master menjentikkan jarinya. Kemudian tersenyum sumringah menatap siswa-siswanya. "Kalian pasti sudah mengingatnya."
Sepuluh master itu kini saling menatap penuh arti. Dan dua detik kemudian, mereka menatap dengan pandangan lurus untuk mengatakan ...
"Bagaimana pandangan kalian terhadap Introvert Class?"