Bab 25

43 5 2
                                    

Terhitung, Sasya sudah mengetuk pintu rumah bercat putih hampir empat kali. Sasya geram, apakah sedang tidak ada siapapun di dalam?

Bahu Sasya turun karena kecewa. Sia-sia ia meminta izin untuk terlambat datang bekerja paruh waktu hari ini.

Sedetik kemudian, Sasya kembali tersenyum. Atau, jangan-jangan ketukannya terlalu pelan. Mungkinkah Sasya perlu mengeluarkan tenaga dalam dan menggedor pintu kayu ini saja?

Sasya menarik napasnya dalam-dalam, lalu melayangkan kepalan tangan kanannya di udara. Bertepatan pula dengan terbukanya pintu tersebut.

Gerakan yang baru terjadi sangatlah cepat. Sasya saja tersadar ketika tangannya telah mendarat mulus di dahi Niko.

"Eee---" dengan gerakan perlahan Sasya menurunkan tangannya, kemudian melirik maha karya telah tercipta di wajah rupawan yang dulunya ia puja-puja itu.

"Niko, aku bawain kamu cappucino cincau... nihh!!" Sasya menaruh tentengannya di atas dada sembari tersenyum sumringah.

Niko mengusap jidatnya, "Masuk, Gam."

Jujur, Sasya merasa tidak enak. Haruskah ia meminta maaf supaya hatinya lega?

Sasya memperhatikan penampilan Niko layaknya seseorang baru bangun tidur. Meskipun baru pukul tiga sore, suasana rumah Niko begitu gelap. Tidak ada aura kehidupan sama sekali.

Tanpa meminta persetujuan, Sasya bangkit dan membuka gorden. Hingga Niko menyipitkan matanya sebab cahaya matahari yang berhasil masuk dari jendela.

"Gini, kan baru enak!!" pungkas Sasya.

Sasya duduk kembali di samping Niko, "Diminum, Niko. Aku udah capek-capek beliin, jangan cuman dilihatin aja."

Niko tersenyum. Mengapa Agam berubah menjadi seperti ini? Di mana letak sopan-santunnya sebagai tamu? Lupakan, Niko menyukai sikap Agam yang berterus terang begini.

"Perasaan aku nggak ketemu kamu baru sehari, tapi keknya kamu makin kurusan dehh," ujar Sasya.

Sasya masih memandangi wajah Niko. Walaupun Niko balik menatap matanya, Sasya tidak merasakan apa-apa lagi. Sasya juga bingung, padahal momen beginilah yang dulu sangat ia nanti-nati. Harusnya Sasya bahagia.

"Niko, kenapa kemarin sama hari ini kamu nggak sekolah?" Sasya meneruskan, "Pas kamu nggak datang dua harian ini, banyak banget kejadian di sekolah," cerita Sasya.

"Luka aku belum sembuh---" ucap Niko lesu.

Sasya menyela, "Kalau tunggu kamu sembuh total kapan, Niko? Misalkan dua minggu, kamu bakal absen dua minggu juga? Namanya bekas luka, nggak mungkin tiga hari bisa hilang!"

Niko memejamkan matanya sebentar. Setelah itu, ia meneguk cappucino cincau yang dibelikan Sasya. Rasa manis dan sedikit pahit memenuhi rongga mulutnya.

"Kayaknya kamu belum bisa ngerti, Gam," ujar Niko lirih.

"Makanya bikin aku ngerti!" seru Sasya.

"Aku bukan sekedar Ketua OSIS, tapi aku juga panutan buat adik-adik kelas. Aku harus jadi contoh yang baik buat mereka..." Niko menjeda beberapa saat, barulah ia melanjutkan, "Aku adalah wajah bagi SMA Bina Bangsa."

"Apa pendapat orang sama luka-luka yang ada di muka aku?"

Sasya ingin membantah, namun sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat. Ia tidak mau menambah beban di hati Niko.

"Makanya kamu sembunyi?" gumaman Sasya cukup keras dan masih bisa sampai di telinga Niko.

"Betul... Aku udah terbiasa melarikan diri setiap ada masalah," aku Niko.

Rasakanlah!Where stories live. Discover now