Bab 08

296 44 173
                                    

Sasya melamun cukup lama, ia duduk di kursi kayu panjang yang berada di teras rumah Nenek Ula. Di pangkuannya terdapat lauk yang diberikan oleh Dania beberapa saat lalu---sebelum Dania pulang. Kepergian Dania menimbulkan penyesalan di hati Sasya.

"Boleh peluk?"

Permintaan itu begitu lirih Sasya katakan hingga tidak terdengar sama sekali di telinga Dania. Sasya melewatkan kesempatan langka.

Bukan tanpa sebab, Sasya takut. Sasya takut bila Bunda tersayangnya itu menganggapnya sebagai orang aneh.

Sudah cukup Sasya bersedih. Yang seharusnya ia pikirkan sekarang adalah bagaimana caranya sampai ke rumahnya dengan uang tujuh ribu rupiah. Sasya tidak mungkin berjalan kaki karena jarak antara rumah Nenek Ula ke rumah Agam lumayan jauh.

Bibir Sasya melengkung ke atas dengan mata berbinar. "Bang Kaivan?" Akhirnya Sasya mendapatkan secercah harapan.

Sasya berlari kecil menuju Kaivan yang berdiri di pinggir jalan. "Bang Kaivan, tadi perginya naik apa?" sapa Sasya.

Kaivan mengerti sinyal yang diberikan Sasya. Bertepatan dengan sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan dua remaja tersebut.

Sebelum masuk, Kaivan sedikit membungkuk. melalui kaca jendela yang terbuka setengah, Kaivan berbicara pelan pada Ibunya.

Kaivan menegakkan tubuhnya, lalu menoleh ke arah Sasya. "Masuk, Gam," suruh Kaivan.

Tanpa banyak bertanya, Sasya duduk di belakang Bayu yang sedang fokus menyetir.

"Kembar pasti udah gede ya sekarang. Terakhir jumpa sama Om, kembar masih baru bisa jalan." Bapak Kaivan membuka obrolan.

Sasya tersenyum canggung, "Iya, Om."

"Agam, sekali-kali ajak Mama kamu ikut ngumpul. Sekalian bawa juga si kembar. Biar lengkap keluarga kita ngumpulnya," ucap Yumi yang duduk di samping kursi kemudi.

Sasya mengangguk pelan, "Iya, Tan."

Yumi menghembuskan napas kasar. "Vidya memang agak lain, kemarin aku ketemu dia di pasar. Pas aku sapa malah dia buang muka. Aku samperin, eh dianya marah. Hampir aja kami jambak-jambakkan kalau nggak dibantu lerai sama ibu-ibu jualan sayur."

Sasya menyimak. Bisa-bisanya Yumi bercerita tentang Vidya di depan anaknya langsung. Ya, walaupun jiwa yang di raga Agam ialah Sasya. Tetap saja, di mata orang lain yang berada disini Agam bukan Sasya.

"Kamu ada tekanan darah tinggi, Yum. Aku udah bilangin jangan suka marah-marah. Kontrol emosi kamu," ujar Bayu.

Kaivan memasukkan ponselnya ke saku celananya, "Mulaiiiii."

Bukan sesuatu yang asing bagi Sasya. Perdebatan Yumi dan Bayu memang bukan rahasia lagi. Walaupun sering bertengkar, percayalah bahwa sebenarnya mereka saling mencintai.

Yumi tampak keras dan kejam, namun sebenarnya hatinya lembut dan mudah luluh. Begitu pula Bayu yang terlihat lebih lemah. Sebagai kepala keluarga, sebenarnya Bayu sangatlah tegas kepada istri dan anaknya.

Karena tidak mau mendengar perdebatan kedua orang tuanya, Kaivan pun lebih memilih mengobrol dengan Agam saja. Perlu di ketahui, Kaivan ialah sepupu sekaligus teman gibahnya Sasya.

"Parah banget Nenek tadi. Kamu mau ambil udang crispy-nya Sasya, tangan kamu yang digeplak. Nggak sakit, tapi bikin malu. Aku mau ngakak, cuman suasananya ngeriii," kekeh Kaivan.

Sasya memajukan bibirnya. Sasya tidak suka ditertawakan.

"Kayaknya semenjak kamu sama Sasya pingsan waktu itu, Nenek kek lebih nggak suka sama kamu."

Rasakanlah!Where stories live. Discover now