#21. Tentang Daya Asmara

15 1 0
                                    

Vino tidak kaget lagi ketika dia bangun di siang hari dan menyadari Kidung sudah pergi dari kamarnya tanpa mengabari. Keduanya sudah hampir sepuluh tahun berteman. Vino sudah tahu watak Kidung yang selalu perlu waktu untuk menyendiri usai mengungkapkan beberapa rahasia yang lama dia pendam.

Vino hanya kirim sebuah huruf lewat chat, "P."

Dan Kidung membalas, "Iya, Pin, gue masih hidup."

Sambil membaca chat dari Kidung itu, Vino mencibir, lantas dia pun melanjutkan aktivitas normalnya.

Bertahun-tahun lalu Kidung juga pernah seperti semalam. Dia minta menginap di kosan Vino untuk sedikit mengeluarkan unek-unek hatinya. Setelah itu sebulan Kidung menghilang, dan tiba-tiba Vino dapat kabar dari Auckland bahwa kawannya tersebut magang selama musim panas di New Zealand.

"Bangsat, ya!" umpat Vino sebal. "Kok gak ngajak aku kerja di luar negeri!"

"Maap, Pin," balas Kidung tanpa sedikitpun merasa bersalah. "Gue males ketemu lo tiap hari."

Setelah itu Vino mengirimi rekaman suara yang penuh "kata-kata mutiara" yang sangat menggetarkan jiwa. "Memang kau anjing! Isep lan ciao bule sana loh! Chap jong sit ciao la!"

"Apa sih lo, Cina? Gue kagak ngarti! Pake bahasa Indonesia aja deh!" jawab Kidung sambil tertawa.

Vino yang sakit hati langsung memblokir nomor Kidung selama beberapa bulan, tapi setelah Kidung minta maaf lewat medsos, hubungan mereka kembali seperti biasa.

Tiba di apartemennya dari kosan Vino, Kidung membaca ulang buku cerita yang sudah dia buat untuk Yama. Kidung tepuk jidat, malu dengan karya yang hendak dia jadikan surat wasiatnya itu kalau dia jadi bunuh diri. Untung saja Kidung diselamatkan Vino, kalau tidak Kidung benar-benar akan mati sebagai pecundang memalukan.

Menurut Kidung, surat-suratnya bukan main picisannya. Seandainya surat-surat itu sampai ke tangan Yama, Yama akan muntah darah membacanya.

Kidung beranggapan surat-suratnya itu tak ubahnya lagu-lagu band pop Melayu yang menjamur di tahun 2000-an. Terdengar bagaikan merengek-rengek putus asa, mengemis perhatian dan kasih sayang.

Sebagai contoh, prosa Kidung yang satu ini:

"Hilang.

Kadang rasanya waktu seperti menghilang ketika mencari kamu. Aku mengais di antara tumpukan sampah dunia, mungkin ada potongan dirimu terbuang di sana. Kuharap aku menemukan sisa kamu yang pernah terlepas dari genggamanku, lantas pecah, kemudian serpihanmu hanyut bersama air mataku dan keringat yang telah mereka isap sampai kering.

Tapi, satu-satunya yang kudapatkan dan kusimpan walaupun tak pernah kumiliki, adalah sesosok bayangan kabur tanpa identitas. Dia membisikkan namaku di antara bisingnya polusi suara dunia. Mungkin itu kamu. Semoga itu kamu. Agar tak perlu aku menyesal telah mencarinya hingga sekarat dalam kelelahan dan kebosananku ini.

Dan rentang waktu yang terdistorsi itu, dengan terlalu banyak kenangan dan mimpi dan halusinasi yang teraduk jadi satu, telah pula menghilang, sehingga aku tak mengenal bilangan waktu lagi. Apa itu sekarang? Apa itu besok? Apa itu jam, menit, detik? Andai pun besok masih ada, sampai kapanpun juga, aku tak akan pernah menyia-nyiakan setiap momen yang kulihat dalam matamu saat aku bersama kamu.

Mungkin karena aku cinta kamu. Hanya cinta saja tanpa alasan. Perasaanku mendominasi pikiranku. Ada kekuatan misterius yang menggerakkan semua itu. Sebutlah materi gelap. Hukum alam. Takdir. Kuasa Tuhan. Dan melawannya aku tidak berdaya."

***

Dalam masa pemulihannya dari episode depresif yang hampir merenggut nyawa, hobi Kidung akhir-akhir ini adalah membaca surat cinta yang ditulis oleh tokoh-tokoh termahsyur di dunia seperti para filsuf, penulis, ilmuwan, presiden dan bintang film.

Biar Saja Rusuh di RanjangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang