#2. Kidung, 33 Tahun, Sagacity

26 5 0
                                    

Agen periklanan itu bernama Sagacity.

Bulan Juni ini usia Sagacity tepat satu dekade. Jabatan CEO masih dipegang oleh pendiri Sagacity, yakni Tirta Sagara, seorang sineas kawakan yang berfokus membuat iklan. Dan untuk soal duit, Tirta menyerahkannya pada Sekar, keponakannya yang bergelar MBA dari Harvard.

Creative Director Sagacity yang baru, yang konon disebut simbol ketampanan pria Indonesia, merupakan tunangan Sekar. Rahasia itu segera tersebar luas tidak lama setelah Kidung direkrut. Beginilah lingkungan kerja nepotis, di mana nyaris semua karyawannya masih berstatus kerabat.

"Lo kok tahu, Nit, Mbak Sekar dan Mas Kidung sudah lama tunangan?" tanya Alin pada Nita, darinya rahasia itu bersumber.

"Dari nyokap gue," jawab Nita enteng. "Nyokap gue kan sepupu nyokapnya Mbak Sekar."

"Gak kaget sih. Justru aneh kalo cowok seganteng itu masih single. Kalo doi masih single, artinya cuma dua: tukang mainin cewek, atau tukang mainin cowok."

"Anjir."

Mendengar kedua rekannya bergunjing tentang Sekar dan Kidung, Yama menghela napas lega.

'Baguslah Kidung dan Sekar bertunangan,' pikir Yama. 'Alin gak akan lagi berusaha mengakrabkan aku sama Kidung.'

"Yah, Ma, kasihan deh kamu." Alin merangkul Yama. "Ternyata Kidung bukan jodoh kamu."

"Syukurlah," balas Yama lugas. "Saya kerja di perpus ya, Mbak."

Yama membawa laptopnya ke perpustakaan di lantai enam, yang selantai dengan ruangan-ruangan C-executives Sagacity. Dibanding lantai tiga yang selalu riuh-rendah karena dihuni orang-orang nyentrik Seksi Kreatif, lantai enam selalu sunyi. Bagi spesies super introvert macam Yama, kesunyian merupakan karakteristik tempat kerja ideal.

Di perpustakaan itu, Yama pun memiliki titik favorit. Yama selalu menempati meja di sudut kanan ruangan, menghadap jendela besar yang berlatar panorama pusat distrik bisnis Jakarta. Di sana Yama betah bekerja berjam-jam dari pukul 9 pagi sampai 9 malam, mengerjakan tugas-tugasnya sebagai ilustrator, sambil menyumpal telinga dengan noise-cancelling headphone.

Sementara itu, di ruangan CFO, Kidung dan Sekar tengah berdiskusi.

"Sekar, karena aku masih baru di sini, kayaknya aku perlu asisten, deh. Bukan sekretaris yang ngurusin Google Calendar, lho. Aku perlu seseorang yang cukup berpengalaman di kantor ini, mengerti visi-misi perusahaan, dan bisa mendampingi aku ngobrol sama klien."

Mendengar permintaan Kidung, Sekar terdiam merenung.

"Dia gak perlu terlalu lama mendampingi aku. Mungkin hanya sekitar tiga bulan. Hanya sampai aku benar-benar mengerti tentang karakter perusahaan ini." Kidung menambahkan, "Akan lebih baik kalo asistenku itu tipe yang kalem dan gak kepoan. Tipe yang friendly, tapi stays professional. Well, you know me, sebenarnya aku benci orang yang sok kenal sok dekat."

Sekar bersedekap. "Kalem dan gak kepoan," ulangnya lirih.

Sebuah ide cemerlang melintas di benaknya, seperti lampu yang menyala. Lantas sang CFO duduk bersilang kaki di balik meja kerjanya. Diteleponnya seseorang.

"Ma, kamu di mana? Oh, good. Saya tunggu di ruangan saya, ya. Right now."

Dalam beberapa detik, pintu ruangan Sekar diketuk lembut dari luar.

"Come in!" sahut Sekar.

Yama pun mendorong pintu kaca buram sampai membuka. Kidung menoleh ke arahnya. Sejenak kedua orang itu bertukar pandang di depan meja Sekar.

Kidung tertegun menatap Yama. Bukan karena Kidung mengenali Yama, melainkan karena dia merasa bingung. Orang yang baru tiba ini perempuan atau laki-laki?

Rambut orang itu pendek dan berpotongan two blocks. Wajahnya imut karena bingkai kacamatanya yang besar dan bulat, sekaligus terlihat agak maskulin. Dia memakai t-shirt dan kemeja flannel kebesaran yang menyamarkan bentuk badannya, dengan bawahan celana pendek jeans, kaus kaki sebetis serta sepatu canvas.

"Ini Yama, ilustrator kita." Sekar merangkul Yama. "Kayaknya dia cocok jadi asisten kamu."

Yama menoleh, memelototi Sekar. "Apa, Mbak?"

"Tolongin Kidung ya, Ma. Soalnya dia kan masih baru. Dia masih belum paham banget situasi kerja di sini kayak gimana, jadi perlu didampingi," ujar Sekar.

Susah-payah Yama menelan ludah, disebabkan kerongkongannya mendadak kering. "S-saya, Mbak?"

"Iya, Yama sayang, Kidung maunya sama kamu!"

Yama melirik Kidung. Orang yang dilirik masih bergeming. Sepertinya Kidung tidak mengikuti obrolan mereka karena sibuk memikirkan hal lain.

"T-tugas saya ngapain, Mbak?" tanya Yama terbata-bata.

"Kamu tanya aja sama Kidung!" jawab Sekar mulai tidak sabar. "Kidung! Halooo! Asisten kamu sudah di sini!"

"Oh." Kidung tersadar dari lamunan randomnya. "Hai ... um ... siapa namamu tadi?"

Yama tercekik grogi, sampai tak bisa mengeluarkan suara.

"Yama!" Pertanyaan Kidung dijawab Sekar lantang. "Mulai hari ini dia asisten kamu!"

Kidung mengangguk dan tersenyum pada Yama. "Okay, good, very nice to meet you."

Di tengah badai panik yang menghantamnya, yang membuat kewarasannya seolah terkoyak dan terhempas, Yama berusaha tetap sopan. "N-nice to meet you ... uh ... M-Mas Kidung ...."

"Yama, gimana kalo kita ngobrol dulu di luar?" ajak Kidung ramah. "Mungkin biar kita lebih relax ngobrolnya, kita sambil ngopi aja di kafe. Okay?"

Yama menganggukkan kepala, lantas mengikuti Kidung menuju kafe di lobi.

"Nama kamu unik banget, Yama." Kidung membuka obrolan dengan basa-basi. "Itu Bahasa Jepang, kan? Setahuku artinya gunung."

Yama mengamati Kidung. Dilihat dari gerak-geriknya, Kidung benar-benar tidak mengenali Yama. Yama pun berusaha untuk tidak terlihat gugup.

"Betul, Mas, Yama artinya gunung," jawab Yama pelan. "Tapi, ayah saya ambil nama itu dari mitologi Buddhisme, artinya Penguasa Alam Baka."

"Oh ... ha-ha ... yang bener?"

"Beneran, Mas."

"Unik juga ayah kamu."

Suara Kidung dibarengi suara pramusaji memanggil namanya.

"Atas nama Kidung!"

Yama hendak berdiri, tapi Kidung mencegahnya. "Kamu duduk aja, saya yang ngambil!"

Sementara Kidung mengambil pesanan mereka, Yama menenangkan diri. 'Tenang, Yama. Kidung gak mengenali kamu. Ya, pasti begitu, karena kamu sudah sangat berubah. Mulai dari potongan rambutmu, gaya berpakaianmu, dan yang terutama, perilakumu. Kamu bukan lagi gorila lepas yang mengejar Kidung dengan beringas. Sekarang orang-orang menyebutmu si kulkas, karena kamu cool, dan kamu tidak reaktif terhadap ingar-bingar yang terjadi di sekitarmu.'

Kidung kembali membawa pesanan mereka. Americano dingin untuk Kidung, dan Matcha Thai Tea untuk Yama. Sejenak Kidung mengamati Yama menyicipi minumannya.

"Sudah berapa lama kamu kerja di sini, Yama?" Kidung melanjutkan obrolan yang terjeda.

"Lima tahun, Mas."

Sebenarnya agak aneh menyebut mantan teman sekelas dengan awalan 'Mas'. Tapi, Yama ingin hubungan mereka tetap berjarak. Dan Yama ingin — seandainya Kidung tersadar bahwa Yama asistennya sekarang adalah si creep Yama di SMA — Kidung mengira Yama sudah melupakan kejadian itu dan bahkan tidak lagi mengenali Kidung.

"Sebenarnya saya gak mau nambah beban kerja kamu. Tapi saya memang sangat memerlukan asisten. Tolong bantu saya ... yah ... sekitar tiga bulan aja lah."

"Bantuan seperti apa yang bisa saya kasih buat Mas Kidung?" Sekarang Yama sudah tenang sepenuhnya. Bola matanya tidak lagi bergulir kian-kemari mengikuti pikiran yang kocar-kacir, dan terfokus pada Kidung. Yama menyimak Kidung dengan saksama.

"Misalnya kayak pas kita meeting sama klien, kamu bisa kasih saya masukan, apakah ide saya sesuai dengan karakter Sagacity atau malah bertentangan. Setelah lima tahun kerja di sini, you know our CEO, right? Pak Tirta sangat menjaga keunikan Sagacity, dan sebagai CD baru saya gak berani melanggar pakemnya."

[Akhir Bab 2]

Biar Saja Rusuh di RanjangWhere stories live. Discover now