#18. Selama Tidak Bertemu

16 3 0
                                    

Di Gaido, tempat kursus animasi ini, hanya ada tujuh staf termasuk Yama dan Pandu. Stafnya terdiri dari lima orang guru, seorang admin, dan seorang janitor.

Tim guru terdiri dari Pandu, Stefan (co-founder Gaido, juga teman sekampus Pandu dan Yama), Ilham, Rina dan Yama. Urusan administrasi dipegang Risa, kakaknya Rina. Janitor Gaido bernama Fajar, pemain FF yang rank-nya sudah mencapai Diamond 3.

Di sini Yama tidak merasakan hawa menegangkan khas politik kantor, tidak seperti di Sagacity. Walaupun tidak saling bermusuhan, hubungan antara staf Gaido tidak begitu dekat juga. Mungkin karena orang-orang di Gaido sefrekuensi dengan Pandu. Mereka sekumpulan otaku yang terlalu asyik berkutat dengan hobi masing-masing sehingga tidak mengacuhkan hajat orang lain.

Sebagai contoh, Stefan, co-founder Gaido. Kepribadian Stefan berkebalikan dari Pandu. Stefan pria yang agak ceriwis, pun stylish, dengan gaya penampilan mengikuti fashion Hallyu. Dia ramah, suka jalan-jalan bersama teman-teman, banyak mengambil foto selfie, dan merupakan pengguna medsos yang aktif.

Sudah menjadi rahasia umum di Gaido bahwa Stefan adalah penggemar berat K-Pop dan K-Drama. Stefan dapat menyebutkan secara lengkap K-Pop girl groups dari 4 agensi terbesar di Korsel sejak generasi SNSD sampai New Jeans. Jika sebutan "Weeaboo" bersinonim dengan orang yang terobsesi dengan kultur Jepang, maka "Koreaboo" berarti orang yang terobsesi dengan kultur Korea, semacam Stefan.

Stefan tidak pernah malu bicara dalam bahasa Korea, serta mengadaptasi bahasa tubuh orang Korea dalam kesehariannya. Dia bersolek seperti artis lelaki Korea — setidaknya dia memakai sunscreen, BB cream dan lipbalm. Tetapi, kenyentrikan Stefan itu diterima dengan baik di Gaido, bahkan dilindungi.

Pandu biarkan Stefan mendekorasi kelasnya dengan berbagai aksesori Hallyu. Pandu juga mengizinkan Stefan menyapa para peserta didiknya dengan salam a la Korea ("Annyeonghaseyo, yeorobeun!"). Dukungan Pandu yang laissez-faire itu justru membuat Stefan dan kelasnya menjadi yang terlaris, dan menambah daya tarik Gaido.

Contoh lain, Mas Ilham alias Mas Toku. Beliau staf tertua di Gaido, kelahiran tahun 82. Beliau sudah beristri, sudah memiliki dua anak perempuan berusia SD, dan beliau merupakan penggemar berat Tokusatsu klasik (film atau series fiksi ilmiah Jepang, misalnya Ultraman dan Kamen Rider).

Beliau lebih "garing" daripada Pandu ketika mengobrol. Bukan karena Mas Ilham pendiam, tapi jokes bapack-bapacknya sungguh bikin gak tahan. Selain jayus, lelucon Mas Ilham juga sangat ketinggalan zaman (misalnya: "Depan ada kaleng, belakang ada kaleng, tengahnya ada mas, apaan tuh? Mas Pandu dagang kerupuk. Depannya ada kaleng, belakangnya ada kaleng, tengahnya ada Mas. Mas Pandu, eu-heu-heu ....").

Tapi Mas Ilham tidak diasingkan. Pandu dan kawan-kawan tidak pernah berkomentar buruk tentang Mas Ilham di belakang beliau. Padahal setiap hari Mas Ilham melontarkan lelucon norak kepada siapapun yang dia sapa, namun tidak ada yang mempermasalahkannya.

Yama sempat mengalami culture shock di Gaido. Setelah lima tahun Yama bekerja di Sagacity, Yama terbiasa berpura-pura jadi anak gaul Jaksel. Karena, berdasarkan pengalaman Yama di bulan pertama bekerja, sebagian besar karyawan Sagacity akan memusuhi rekan mereka yang pendiam ataupun berbeda sendiri. Untuk bertahan di kantor itu, mengikuti trend adalah syarat utamanya. Satu orang pakai tumbler Corkcickle, yang lain juga harus pakai.

Di Sagacity, energy Yama terkuras bukan oleh pekerjaannya, melainkan oleh budaya kerja yang toksik. Yama harus menghadapi senioritas, orang-orang hipokrit dan penjilat, klub gibah dan klub pamer kekayaan. Akhirnya Yama terlalu lelah dan menyerah. Bermula dari tahun kedua, Yama mulai dijuluki "Si Penunggu" karena dia seolah datang ke kantor hanya untuk jadi makhluk penunggu perpus di lantai 6.

Gaido merupakan lingkungan kerja yang rada aneh bagi Yama. Budaya kerja di Gaido bisa disebut inklusif. Staf Gaido menghargai perbedaan dan tidak berusaha mengubah agar seragam.

Karena itulah, di sini Yama bebas jadi dirinya yang tidak suka ngumpul dengan rekan kerjanya dan tidak suka mengikuti trend, sebab Pandu juga demikian. Yama tiba sepuluh menit sebelum jam mengajar dimulai, kemudian langsung pulang begitu kelasnya selesai. Tidak ada yang memandang Yama dari sudut mata dengan sinis. Tidak ada pula yang menyindir Yama atau menyebut Yama sombong.

Selama tiga bulan, hidup Yama terasa semanis minuman cola yang suam-suam kuku. Agak manis, agak segar, agak menggelitik. Tidak ada sensasi yang ekstrem, namun Yama menikmati kelempengan ini.

Yama menemukan kebahagiaan dengan bekerja di Gaido, dan sedih juga karena kondisi kesehatan ibunya semakin menurun.

Setelah menjalani kemoterapi satu kali, fisik dan mental Ibu justru semakin lemah. Ibu sama sekali tidak mau makan sehingga tidak punya tenaga untuk bergerak, dan tampaknya beliau sudah tidak punya semangat untuk melanjutkan hidup. Dapat disimpulkan dari hasil pemeriksaan lanjutan bahwa kemoterapi tidak lagi dapat menolong Ibu.

Selama Yama bekerja, Ibu dijaga dan diurus Teh Ai (istri Pak Eko satpam perumahan). Om Buyung membantu Yama dengan menanggung gaji Teh Ai. Meski kontribusi Om Buyung hanya sebatas itu, tapi Yama sangat berterima kasih.

"Mungkin sudah waktunya kita mengikhlaskan kepergian ibumu," kata Om Buyung pada Yama. "Biar ibumu tidak terlalu lama lagi menderita."

***

Selama Kidung tidak bertemu Yama, pria itu juga sangat menderita.

Selain Kidung memendam rindu kepada Yama, bapak Kidung luar biasa murka begitu tahu Kidung sudah membatalkan pertunangannya dengan Sekar dan bahkan tidak bekerja lagi di Sagacity.

Kidung disuruh pulang ke rumah orang tuanya, hanya untuk dicambuk gesper bapaknya.

"Rujuk kamu sama Sekar!" titah Bapak menggelegar bak sabda dewa. "Jangan bikin Bapak malu!"

"Malu karena apa, Pak?" Tampaknya Kidung sudah kebas terhadap rasa sakit. Ketika dia bertanya, suaranya tidak gemetar. Dia menatap bapaknya dengan ekspresi wajah datar, sementara matanya yang tajam berserobok dengan mata nyalang Bapak yang tampak merah berkobar.

"Masih berani melawan kamu?!" Bapak mengangkat tangan, siap menghantamkan gesper.

"Saya kan hanya bertanya, Pak," sahut Kidung tidak gentar.

"Sudah, Nak, jangan ...." Ibu Kidung hanya bisa melarang, tanpa sekali pun beliau pernah membela putranya atau setidaknya memberikan Kidung alasan yang masuk akal. "Jangan melawan bapakmu, nanti susah hidupmu ...."

Kidung mendengus tertawa. "Kapan saya pernah melawan Bapak?"

Sejujurnya Kidung ingin sekali menunjukkan pada ibunya bagaimana perlawanan yang sebenarnya. Ingin sekali Kidung balas kekerasan Bapak dengan kekerasan pula. Tapi, Kidung mengalah saja, sebab tidak mau membikin urusan dengan bapaknya tambah ruwet.

Kidung undur diri. "Saya pulang dulu, Pak, Bu."

Sambil meninggalkan rumah megah orang tuanya, Kidung memutuskan kejadian hari ini merupakan yang terakhir kali dia menahan diri. Kalau Bapak terus memaksa Kidung menikahi Sekar, Kidung sungguh akan menantang Bapak adu jotos. Sejujurnya Kidung sudah lama memendam hasrat untuk menyentil biji bapaknya, sekali saja.

[Akhir Bab 18]

Biar Saja Rusuh di RanjangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang