#6. Duduk Diam Denganmu

19 2 0
                                    

Kidung memandang wajah bulat itu dan termangu.

Wajah yang sungguh berbeda dari ingatannya tentang Yama namun masih terasa familier. Wajah yang rasanya tidak mengandung bahaya.

Kidung tidak dapat mendeskripsikan bagaimana perasaannya sebab perbendaharaan katanya terbatas, namun analogi yang paling mendekati adalah, duduk di samping perempuan berwajah bulat itu terasa seperti duduk bersama kucing di teras yang hening.

Tidak saling bicara. Tidak saling mengusik.

Bagaimanapun, dengan adanya Yama, Kidung merasa ditemani.

Sementara Kidung merenung, Yama sibuk bekerja. Kedua lubang telinga Yama disumpal headphone. Sebelah tangan Yama sibuk menggambar dengan tablet elektronik.

Menunduk saja perempuan berkacamata itu. Saking fokusnya, lebih dari satu jam dia tidak menoleh ke kiri ataupun ke kanan. Tidak bicara, bahkan berdeham atau terbatuk pun tidak. Bergeming saja dia di dalam hening, seumpama dia sedang bertapa.

Sejujurnya, bagi Kidung yang memiliki bakat kinestetik tinggi, biasanya dia tidak betah terlalu lama berdiam seperti ini. Tetapi aura Yama mendamaikan isi benak Kidung yang sebelumnya bergejolak setelah berdebat dengan Sekar. Kadang, yang Kidung inginkan ketika hatinya lara, memang bukanlah menceritakan laranya. Seperti sekarang, lara Kidung sirna hanya dengan duduk bersama Yama.

Setelah cukup membaik suasana hatinya, Kidung pun turun ke lantai tiga untuk mengambil laptop, kemudian kembali ke perpustakaan di lantai enam untuk melanjutkan pekerjaannya. Selama beberapa jam kedua orang di perpus mini itu sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

Pukul setengah dua siang, Kidung beranjak dan menghampiri Yama lagi.

"Ma, aku laper nih." Bisikan Kidung memecah konsentrasi Yama. "Temenin beli makan, yuk."

Yama mendongak pada Kidung dan membeku.

Apa yang dapat Yama katakan?

Dia tidak ingin menemani Kidung beli makan, tapi bagaimana cara menolak atasannya?

"Lagipula ada sesuatu yang pengen aku diskusikan sama kamu," imbuh Kidung sambil mengesah serius. "Ayolah."

Kidung menunggu sampai Yama selesai membereskan barang-barangnya di atas meja.

"Titipin aja barang-barang kita sama yang jaga perpus." Kidung merangkul bahu Yama, seolah mereka telah akrab sejak lama. "Toh abis makan kita balik ke sini lagi."

Mereka ke meja pustakawan untuk menitipkan laptop, kemudian mereka jalan beriringan sejak meninggalkan perpus sampai turun ke lobi dan menyeberangi jalan untuk makan di sebuah warteg.

Yama cukup terkejut karena Kidung mau makan di warteg.

Padahal dia anak dubes, tunangannya CFO, dan segala benda yang dia kenakan — pakaian, jam tangan, sepatu, tas selempang — terlihat modis dan mewah.

"Mbok, biasa, nasi sop bakwan," kata Kidung pada mbok warteg. "Minumnya es jeruk."

"Siap," sahut simbok. "Terus temannya mau makan apa?"

Yama mengamati masakan di etalase warteg, lantas memilih tumis kangkung, orek tempe dan sambal.

"Minumnya es jeruk juga, Mbok," imbuh Yama sebelum duduk bersama Kidung.

"Biasanya kamu makan siang di mana, Ma?" Kidung membuka obrolan mereka.

"Saya bawa bekal, Mas, jadi jarang jajan."

"Oooh." Kidung manggut-manggut. "Bekalnya kamu bikin sendiri?"

"Iya."

"Emang gak ribet nyiapin bekal sebelum berangkat ngantor?"

Biar Saja Rusuh di RanjangWhere stories live. Discover now