#9. Sudahlah Tidak Mengapa

19 3 0
                                    

"Mbak Yama."

Pak Eko, satpam perumahan, menghampiri Yama yang baru turun dari ojek di depan rumah.

"Jadi gini, Mbak Yama ... tadi siang Ibu ... berantem sama Ujang yang biasa nganter paket ...."

"Waduh," gumam Yama. "Gimana kejadiannya tuh, Pak?"

"Tadi Ibu gak mau bayar paket COD. Saya juga gak punya uang. Jadi saya panggil Pak RT, dengan maksud minta tolong supaya Pak RT nalangin Ibu dulu gitu."

"Saya minta maaf banget ya, Pak." Yama meringis malu. "Saya ke Pak RT deh sekarang, buat ganti uang beliau."

"Kata Pak RT, uangnya ditransfer aja. Terus ada pesan dari Pak RT nih, Mbak. Pak RT bilang, kayaknya Ibu kudu buruan diperiksa."

Ucapan Pak Eko membuat Yama tertegun.

"Tetangga pada ngeluh. Tiap hari paket dateng minimal tiga kali, tapi Ibu gak mau keluar ngambil paket. Tukang paket sama tukang nagih utang teriak-teriak terus di depan pager manggilin Ibu, dan itu bikin tetangga keganggu. Udah gitu Mbak, Ibu sering jalan-jalan ngiterin komplek sambil teriak-teriak gak jelas. Sebenarnya Jumat kemaren, Ibu masuk ke masjid komplek, marah-marah sama bapak-bapak yang lagi mau Jumatan. Saya yang nenangin, Mbak, saya yang bujuk Ibu pulang."

Yama terdiam. Yama tahu apa maksud Pak RT meminta Ibu segera diperiksa. Yama cukup lama memerhatikan, bahwa kemungkinan besar ibunya mengidap suatu penyakit jiwa.

Tetapi, yang luput dari perhatian Yama, adalah betapa cepat kesehatan mental Ibu menurun sehingga sekarang kelakuan Ibu tidak terkendali.

Yama pikir ibunya akan baik-baik saja selama semua keinginan beliau dituruti, namun penyakit itu rupanya bagaikan virus zombie yang membuat Ibu bergerak liar tak sadarkan diri.

"Siap, nanti saya bawa Ibu ke rumah sakit. Makasih Pak Eko, udah ngejagain Ibu. Kalo Ibu bikin ulah lagi, tolong langsung kabarin saya ya, Pak." Yama menutup perbincangan. "Saya masuk dulu."

Yama masuk ke dalam rumah.

Dilihatnya sang ibu sedang fokus menonton tv di sofa ruang tengah. Yama pikir Ibu akan terus menempelkan bokongnya di sofa buluk itu, dan akan terus duduk bermalas-malasan meski rumah mereka kebakaran atau diguncang bencana alam.

Tetapi akal manusia memang misterius. Entah apa tujuannya, wanita paruh baya yang selalu berdaster kumal itu meninggalkan zona nyamannya dan mengganggu orang lain.

Tentu ada penjelasan ilmiah di balik segala tindakan manusia, yang disadari maupun yang tidak. Trauma di kepala, terekspos zat racun, kekurangan nutrisi, ketidakseimbangan hormonal, gaya hidup yang penuh tekanan, serta untaian pengalaman traumatis hanyalah segelintir dari berjuta alasan mengapa seorang manusia melakukan tindakan tertentu di luar pikiran logis.

Yama tarik napas dalam-dalam, mengesah lelah. Yama tahu, dia harus menyerahkan Ibu pada ahlinya. Mungkin Yama sendiri juga perlu konsultasi dengan psikolog. Tetapi, mereka terkendala biaya. Bahkan Yama sudah berbulan-bulan tidak mampu bayar BPJS Kesehatan.

Sejujurnya Yama pun sudah lama mengalami kelelahan mental. Lagipula sepertinya, penyakit jiwa adalah penyakit genetis dari keluarga Ibu. Yama berjuang sekuat tenaga mempertahankan kewarasannya, sebab seringkali dia merasa kesadarannya terputus dari kenyataan dan dia mengambang tanpa arah.

Tidak jarang Yama terjaga sepanjang malam, karena benaknya begitu berisik, seolah terdapat tiga ratus radio yang dinyalakan berbarengan dalam kepalanya. Ada berbagai genre musik disetel, ada perbincangan, ada perdebatan, ada yang ceramah, ada yang mengaji — semua itu berlangsung di suatu ruang tak kasat mata dalam kepalanya. Dan Yama tidak tahu bagaimana dia dapat mematikan semua radio itu.

Kendati tidak kasat mata, dan tidak pula berdimensi, masalah jiwa sesungguhnya nyata. Penyakit mental sama nyatanya dengan penyakit fisik, berdampak terhadap penderitanya. Misalnya, rasa sakit yang dihasilkan halusinasi, sama menyakitkannya dengan patah tulang.

Akan tetapi untuk memahaminya, dibutuhkan penjelasan yang jauh lebih rumit dari sekadar apa yang bisa dijelaskan secara indrawi. Karena luka fisik terlihat, sementara luka mental tidak. Sayangnya, orang lain kerap menganggap yang tidak terlihat itu tidak pula ada.

Karena itulah, Yama dan ibunya harus menghadapi masalah ini sendirian. Yama pernah menceritakan soal kondisi Ibu pada Om Buyung, adik kandung Ibu. Namun Om Buyung anggap Ibu hanya 'kurang bersyukur saja'.

***

"Ibu makan apa hari ini?"

Usai cukup lama tercenung, Yama menghampiri sang ibu.

Ibu geming seakan mematung, tidak menjawab pertanyaan Yama.

Yama tersenyum sambil memandang wajah ibunya yang datar. Ibu masih terlihat cantik di usia 53 tahun, hanya kurang merawat diri, imbas dari penyakit mentalnya. Dahi lebar Ibu, alis tebal yang membentuk sepasang bukit di atas matanya yang dalam, melambangkan kepribadian Ibu yang tangguh dan mandiri.

Sebelum depresi menerjang beliau bagaikan banjir bandang, Ibu berprestasi gemilang.

Pada usia 37 tahun, setelah bercerai dari Ayah, Ibu mendapat beasiswa penuh dari salah satu universitas ivy league di Amerika. Tidak tanggung-tanggung, Ibu mengejar gelar master ganda dalam waktu dua tahun, yakni Master of Management dan Master of Business Administration. Ibu juga memiliki banyak sertifikat keahlian lain, sebab Ibu hendak menjadi penasihat bisnis internasional.

Cita-cita Ibu terwujud. Ibu menjadi dosen, peneliti, serta konsultan di sebuah kamar dagang asing. Tetapi, di penghujung usia 40 tahunan, secara mendadak Ibu meninggalkan semua pekerjaannya lantas mengurung diri di rumah seperti sekarang.

Ibu menghindari interaksi sosial dengan siapapun kecuali dengan Yama. Ibu bilang pada Yama, Ibu takut pada orang-orang. Ibu bilang, orang-orang cemburu pada Ibu, dan ingin mengenyahkan Ibu.

Yama tidak pernah tahu, siapa orang-orang yang Ibu maksud.

Yama juga tidak pernah tahu, apa yang mencetuskan paranoia Ibu.

Apakah orang-orang itu benar-benar ada dalam kehidupan, atau hanya ada dalam pikiran Ibu saja, Yama sama sekali tidak tahu.

Awalnya, pikiran Ibu yang tidak logis itu membuat Yama kesal. Namun, setelah bertahun-tahun Yama hidup bersama Ibu dan mendengarkan isi kepala beliau yang dikemukakan seumpama celoteh orang mabuk, Yama pun berpikir sesungguhnya isi kepala Ibu luar biasa.

Seolah, dalam kepala Ibu, Adam Smith tengah berunding dengan Siddharta Ghautama dan Mahatma Ghandi. Sementara Joseph Stalin, Hideki Tojo dan Paul Kelly mendengarkan risalah Sang Pangeran yang dibacakan langsung oleh Niccolo Machiavelli. Atau barangkali Einstein, Planck dan Schrödinger sedang duduk minum teh sambil berbincang santai tentang Mekanika Kuantum bersama March Hare dan Mad Hatter di Wonderland.

Dunia di dalam diri Ibu begitu memesona, begitu menggairahkan, dipenuhi kata, bentuk, warna, dan rasa. Karena itulah, meski Ibu tampak cacat secara sosial, Yama yakin, Ibu bukanlah mayat hidup.

Ibu sedang sibuk menjelajahi dunia di dalam diri beliau sendiri.

Dan sejujurnya Yama tidak ingin mengganggu petualangan Ibu, hanya demi membuat Ibu terlihat normal di mata orang lain. Yama tidak sedikitpun keberatan ibunya disebut orang gila. Seandainya Ibu diasingkan orang-orang karena gila, Yama siap hidup dalam pengasingan itu bersama Ibu.

[Akhir Bab 9]

Biar Saja Rusuh di RanjangWhere stories live. Discover now