#19. Di Bawah Kulit

13 3 0
                                    

Dari rumah Bapak, Kidung berhasil mengendarai mobil dengan selamat sampai dia tiba di apartemennya.

Saat tadi Kidung berhadapan dengan orang tuanya, jiwanya seolah tercabut dari badannya, membuatnya mati rasa.

Namun begitu Kidung keluar dari rumah itu, kesadaran dan emosinya seolah dijejalkan kembali ke dalam dirinya dengan brutal, seumpama menjejalkan sayur-mayur ke dalam anus ayam turki yang akan dipanggang. Dia merasa begitu marah, namun juga begitu cemas. Bermacam suara dan potongan adegan menakutkan dari memori yang terdistorsi hilir-mudik di benaknya, tumpang-tindih tidak terkendali.

Kidung tidak dapat berpikir jernih, napasnya menjadi pendek, sementara air matanya mengalir tanpa dia mengerti mengapa. Rasa panas yang ganjil merangkak di bawah kulitnya. Rasanya seolah ada ratusan serangga menggerayangi tubuhnya, mengisap darahnya, membisikkan berbagai umpatan cabul dan mengutuknya supaya lekas mati.

Kidung tahu, dia sedang mengalami nervous breakdown. Ini respon psikologis terhadap kekerasan yang dilakukan bapaknya. Kidung sudah belajar dari berbagai sumber tentang bagaimana mengatasi respon trauma yang terpicu kembali. Tentu saja prakteknya tidak semudah teori.

Kidung tetap menyalahkan diri. Kidung merasa sangat tolol karena dia selalu berusaha menjaga perasaan orang tuanya dan ingin membuat orang tuanya bangga. Padahal Kidung yakin sesungguhnya dia hanyalah manusia tidak berguna. Di satu sisi Kidung ingin bapaknya segera dijemput Sang Maut. Tapi di sisi lain, Kidung merasa dunia memang tidak membutuhkannya, jadi Kidung pikir dirinya sendiri yang seharusnya cepat lenyap dari muka Bumi.

Kidung ingin sekali menabrakkan mobilnya dengan keras ke sebuah truk besar. Kidung ingin merobek perutnya dan mengeluarkan semua serangga itu dari dalam tubuhnya. Pokoknya Kidung ingin mati dengan cara yang paling menyakitkan untuk memuaskan amarah bapaknya.

Ada satu tabiat serupa yang dimiliki para penyintas kekerasan anak ataupun kekerasan dalam rumah tangga, yakni memendam kesedihan dan kerusakan mentalnya sendiri.

Ada banyak alasan, tetapi satu alasan yang paling esensial adalah, setelah disakiti oleh anggota keluarga mereka yang sepatutnya menjadi sosok terdekat dan terpercaya (misal: orang tua atau pasangan), mereka jadi enggan memercayai siapapun.

Begitu pula Kidung. Meskipun dia memiliki banyak teman, juga seorang sahabat sangat karib bernama Vino, Kidung tidak pernah mengungkapkan kesedihannya pada siapapun. Keyakinan keliru terbentuk dalam dirinya, bahwa dia hanya akan membebani orang lain dengan menceritakan kesedihannya itu.

Perlahan, tabiat itu menjadi zat korosif di dalam diri Kidung. Sebagai contoh, setiap Kidung usai menemui orang tuanya, Kidung melalui beberapa minggu fase depresi. Pada fase ini, Kidung mengisolasi diri, merasa tiada lagi yang berarti — termasuk dirinya sendiri.

Kidung terbangun dengan perasaan hampa, maka oleh sebab itulah dia memaksa dirinya tidur kembali. Ketika dia terjaga dan sudah tidak bisa tidur lagi, logikanya berdebat dengan nuraninya sendiri. Logikanya selalu berkata, "Dasar pengangguran malas! Ayo lakukan sesuatu yang berguna! Jangan merasa diri kamu yang paling sengsara!"

Tapi Kidung tidak berpura-pura lumpuh. Sebenci apapun Kidung pada dirinya yang lemah ini, Kidung memang tidak berdaya. Jangankan keluar rumah mencari kerja, ke kamar mandi pun sulitnya luar biasa.

Kidung seolah terjebak di tengah labirin kelam dalam sebuah mimpi buruk tak berkesudahan. Kidung harus berjuang seorang diri, tiada siapapun yang dapat menolongnya. Setelah berhari-hari mencari jalan keluar, Kidung pun lelah menyeret langkah, dan akhirnya memutuskan untuk mati membusuk di labirin ini.

Sambil menanti Izrail mencabut nyawanya, Kidung merenungi fungsi dan nilai dirinya di dunia ini. Bagi orang tuanya, Kidung anak durhaka. Lantas bagi teman-temannya, Kidung begitu meyakini, dia hanyalah orang yang kebetulan datang lalu berlalu melintasi takdir mereka.

"Jika dipikirkan baik-baik, memang tidak ada yang benar-benar mencintai aku," begitulah Kidung berpendapat. "Yama, satu-satunya orang yang menyayangi aku apa adanya, telah pula berubah."

Kidung pun menyimpulkan, "Mungkin hidupku memang tidak berharga."

***

Dorongan untuk mati muncul bagaikan tamu tak diundang yang terus mengetuk pintu dan memaksa untuk masuk walaupun sudah diusir.

Kidung berusaha mengabaikan ketukan itu dengan membuat sesuatu.

Setidaknya, jika memang Kidung tidak kuat lagi menahan dorongan bunuh diri itu, dia harus meninggalkan sebuah karya untuk Yama. Kidung berharap Yama selalu mengingatnya setiap kali Yama melihat karya warisan Kidung tersebut. Dan Kidung harap, jika dia harus pergi, Yama akan sering merindukannya.

Maka Kidung berencana membuat sebuah buku cerita.

Buku itu akan berisi tiga puluh surat cinta untuk Yama, lengkap dengan ilustrasinya, yang Kidung tulis dan gambar setiap hari dalam sebulan penuh.

Judul buku itu: "Di Bawah Kulit".

"Karena," tulis Kidung di halaman pertama, "kadang-kadang saya harus melepas apa yang berontak di dalam diri."

Di akhir Juni, buku itu rampung. Bertepatan dengan rampungnya tiga puluh surat cinta untuk Yama, dorongan bunuh diri Kidung pun sudah berhasil menjebol pintu akal sehatnya. Bagaikan digerakan tangan tak kasat mata, setengah sadar Kidung berangkat ke Jwajalapa, dengan niat membeli alkohol untuk nanti ditenggaknya beserta segenggam paracetamol.

Di sana Kidung berjumpa Vino dan pacarnya. Mereka bertegur sapa layaknya biasa. Vino tidak menyadari bahwa kondisi psikis Kidung sedang di ambang kematian.

Tetapi Vino amati Kidung membeli tiga botol hard liquor, setelah itu Kidung langsung keluar. Vino jadi penasaran, untuk apa Kidung yang katanya sudah insyaf membeli akohol sebanyak itu. Vino pun bergegas mengikuti Kidung yang masuk ke apotek di samping Jwajalapa, dan tak lama kemudian Vino saksikan Kidung adu mulut dengan nona apoteker.

Vino menghampiri Kidung, menengahi perdebatan itu.

Apoteker berkata Kidung mau beli sepuluh dus paracetamol.

"Kami tidak bisa sembarangan menjual obat sebanyak itu!" kata si apoteker tegas. "Harus ada resep dokter!"

"Nak ape lu beli obat sebanyak itu, Dung?" tanya Vino terheran-heran dengan logat Melayu Singkawang yang mirip logat Betawi. "Dan ngapain pulak lu beli alkohol sampai tiga botol?"

"Gue sakit kepala," jawab Kidung datar.

"Tapi obat itu tidak boleh dikonsumsi berbarengan dengan alkohol!" imbuh si apoteker.

Vino mulai khawatir. "Nah, lu denger itu, kan?"

Kidung diam saja. Vino pun terdiam. Diamatinya baik-baik raut muka Kidung yang kosong tak berekspresi.

"Nak mati ke?! Nyi khong nyin, ah?! (Orang gila lu?!) Nyi mo tet, ah! (Kamu gak boleh!) Sudah, Dung, kuantar kau pulang!" Lelaki peranakan Khek Singkawang tersebut marah-marah dalam tiga bahasa sambil menarik-narik lengan Kidung supaya meninggalkan apotek itu.

Seraya mencekal lengan Kidung di punggung macam meringkus maling, Vino kembali ke Jwajalapa untuk pamit pada Lily, pacarnya. Tentu saja Lily sangat kecewa. Kencannya di malam Minggu dirusak oleh kehadiran pacar lelaki Vino (alias Kidung).

"Nanti kubelikan tiket konser grup K-Pop yang kau suka itu!" Vino mengecup pipi Lily.

"Kamu janji lho, Babe!" omel Lily.

"Iya!" sahut Vino acuh tak acuh. "Dung, bagi aku kunci mobil kau, cepet!"

[Akhir Bab 19]

Biar Saja Rusuh di RanjangWhere stories live. Discover now