#3. Si Gorila Betina

22 3 0
                                    

"Intinya tugasmu cuma nemenin saya aja," pungkas Kidung sambil meringis. "Tentu, dengan tambahan job desc ini, kamu juga akan kami berikan tambahan salary. Tapi soal itu nanti kita diskusikan bareng Sekar. Yang penting sekarang, I just need your answer, kamu setuju jadi asisten saya atau enggak."

Setiap kata diucapkan dengan penuh penekanan, mengisyaratkan betapa gentingnya posisi asisten itu. Kening Yama mengernyit dalam. Memang tidak ada alasan untuk menolak ... kecuali ... Yama tidak mau menjadi "pendamping" Kidung.

Keropeng Yama dari masa SMA masih terasa pedih. Api dendam Yama belum pula padam. Melihat pria itu cengar-cengir santai di hadapannya sekarang, Yama ingin sekali bersumpah-serapah seraya menyiram wajah Kidung dengan kedua minuman mereka.

Tapi, kini mereka rekan kerja.

Tidak, kini mereka atasan dan bawahan.

Saat itu Yama mengakui dirinya hanyalah seorang budak kapitalis, boleh pula dibilang seorang hipokrit. Namun, demi keberlangsungan hidup, Yama harus tetap bersikap sopan pada atasannya. Bagaimana Yama dapat menjelaskan ketidak nyamanannya supaya tidak menyinggung perasaan Kidung?

Sementara Yama merenung, Kidung mengamati Yama.

Perempuan yang duduk di seberang meja tampak tidak asing, namun Kidung tidak dapat mengingat di mana mereka pernah bertemu sebelumnya.

Terlalu banyak manusia telah hadir dalam hidup Kidung, hasil menjalani kehidupan nomaden bersama orang tuanya semenjak dia kecil, dan sayang daya ingatnya tidak cukup besar untuk menampung semua memori pertemuan itu.

Omong-omong, berapa usia si tomboy berkacamata itu?

Menilai gaya berpakaian Yama yang menyerupai bocah SD piknik ke kebun binatang, Kidung mengira usia Yama jauh lebih muda darinya, mungkin 25 tahun.

Di saat yang sama, Yama salah mengartikan ekspresi wajah Kidung yang serius, juga tatapannya yang menajam.

Yama mengira Kidung mulai tidak sabar, karena Yama terlalu lama mempertimbangkan tawarannya.

"Apa Mbak Sekar gak salah milih orang, Mas?" Yama memberanikan diri menyuarakan keresahannya. "Kalo untuk nemenin Mas Kidung ketemu klien, saya terkenal paling gagu di kantor ini. Saya gak pernah ketemu klien, Mas. Selama ini tugas saya kan hanya menginterpretasikan konsep Art Director ke dalam storyboard."

"Aku percaya sama Sekar." Kidung tersenyum simpul. "Aku yakin dia selalu memilih yang terbaik buatku."

Mata Yama sedikit membelalak terkejut.

'Wadidaw, ternyata Kidung tipe yang bucin sama pacarnya.'

Bagaimanapun, ucapan Kidung tadi membuat Yama merasa tenang, sebab Kidung terlalu dibutakan cinta untuk menyadari bahwa Yama yang ini adalah Yama yang itu.

Akhirnya, tanpa membuang waktu lagi, Yama mengangguk. "Okelah, saya setuju jadi asisten Anda."

Senyum Kidung merekah lebih lebar, karena musyawarah telah mencapai mufakat.

"Kalo gitu, kamu temenin saya besok. Ada klien yang harus saya temui di luar kantor. Besok, jam 12 siang, kita ketemu klien pertama saya di Tangerang."

"Baik, Mas."

***

Mereka berangkat pukul 9, tidak lama setelah Yama baru tiba di kantor.

Alih-alih naik SUV Kidung yang mewah dan sudah pasti nyaman, Kidung membawa Yama naik kendaraan umum menuju sebuah mall di selatan Tangerang.

Mereka naik MRT dari Senayan, lantas naik bis di Ciledug, lanjut dua kali naik angkot dan berhenti di trotoar seberang mall.

Sejujurnya perjalanan itu membuat Yama dongkol. Perjalanan itu membuang 2 jam dari waktu Yama yang berharga. Padahal, seandainya tadi mereka naik mobil Kidung, waktu yang dihabiskan hanya setengahnya saja menurut GPS.

'Biar apa si bajingan tampan itu menggunakan angkot?' batin Yama geram. 'Biar kelihatan agak merakyat?'

'Atau jangan-jangan ... si kunyuk ini sengaja mengerjaiku untuk balas dendam?'

Pikiran Yama berenang-renang di awang-awang. Dan isi pikirannya 100% negatif terhadap Kidung. Tentu Yama tidak menyadari, pikiran buruk yang dipendamnya hanya kian menguras energinya.

Apalagi klien mereka tak bisa datang tepat waktu karena urusan mendadak. Eksim di betis Yama kambuh akibat stress. Kulit di betis terasa gatal dan panas, seperti hatinya yang terpanggang emosi.

"Kita makan siang, yuk," ajak Kidung setelah membaca pesan dari calon klien mereka. "Mau makan apa, Ma?"

"Saya ngikut aja," sahut Yama lesu.

"Aku sih pengen yang berkuah." Kidung mengamati sekitar. "Kamu suka pho, gak?"

"Ya, lumayan."

"Oke, kita makan pho, ya."

Duduk berhadapan dengan Kidung di restoran Vietnam yang lengang membuat Yama mengesah gugup. Dengan cepat mereka menghabiskan makanan mereka, lantas hening yang canggung merebak di antara keduanya. Klien yang dinantikan pun masih belum mengabari bila akan tiba.

Yama mengeluarkan tablet dari ranselnya dan mulai menggambar.

Sambil membaca chat di ponsel, Kidung melirik dan memerhatikan Yama yang sibuk sendiri dan tidak mengacuhkannya.

'Ini anak .... Gue yakin, gue pernah ngeliat dia .... Tapi di mana, ya?' Kidung masih penasaran, dan masih salah mengira bahwa Yama lebih muda darinya.

Iseng, Kidung minta CV Yama dari Sekar. CV berupa PDF itu segera dikirimkan ke alamat surel Kidung. Dengan antusias, Kidung membacanya.

'Hah? Ini anak seumuran gue? Kita lulus dari SMA yang sama?'

Detak jantung Kidung riuh terpacu.

Keping-keping puzzle yang terselip di antara buku-buku memorinya satu per satu mulai terkumpul, membentuk sebuah gambaran besar yang semakin jelas.

Kidung masih belum yakin benar, tapi kemungkinan besar, Yama yang ini ... adalah Yama yang dulu pernah sekelas dengannya ... dan suka menggambar dirinya.

'Jadi lo Si Gori ....'

Si Gori, kependekan dari Gorila Betina. Itu julukan yang diberikan teman-teman segeng Kidung untuk Yama semasa di SMA. Julukan itu muncul karena dulu bodi Yama bongsor dan gerakannya seradak-seruduk macam gorila ngamuk.

Memori pun mengalir dan mengisi benak Kidung. Hangat merebak di dalam dada. Masa SMA di Indonesia setelah dia kembali dari Belanda adalah masa paling menyenangkan dalam hidupnya. Setiap hari begitu seru, begitu lucu.

Tanpa sadar Kidung bertopang dagu, tatapannya lekat pada wajah Yama. Teringat Yama di masa lalu, Kidung mengulum tawa.

'Lo dulu pernah demen berat kan sama gue?' Kidung mendengus. 'Astaga, Yama. Gue inget lo dulu selalu ngasih gue sarapan. Nasi uduk, seplastik gorengan, roti cokelat. Terus lo suka ngegambar buat gue, bahkan lo nulis puisi tentang gue. Kenapa dulu gue benci banget sama lo ya, padahal lo baik banget sama gue?'

Kidung bersedekap dan mengesah sedih.

"Mas?"

Kidung tersentak karena tiba-tiba Yama balas menatapnya.

"Hah?" sahut Kidung gugup.

"Pak Joko beneran dateng gak sih?" tanya Yama. "Sebenarnya hari ini saya ada rapat sama tim desain merch."

"Jam berapa rapatnya?"

"Jam tiga."

"Sekarang jam berapa?"

"Setengah tiga."

"Kamu tanya aja hasil rapatnya gimana," jawab Kidung. "Walaupun kamu kembali ke kantor sekarang, kamu tetap bakal telat ikut rapat, kan?"

Yama menghela napas berat. Dia terlihat kesal, namun tidak mengungkapkannya. Perempuan tomboy itu kembali diam, kembali berkutat dengan kesibukannya sendiri.

Kidung pun kembali Yama abaikan.

Kidung turut menghela napas berat. Yama telah berubah, itu sudah pasti. Perempuan itu dulu begitu ramah, begitu ceria, namun sekarang ....

[Akhir Bab 3]

Biar Saja Rusuh di RanjangWhere stories live. Discover now