#8. Tapi Cinta Tolol

24 2 0
                                    

Kidung memandang wajah datar Yama. Wajah Yama mengekspresikan kekosongan hatinya. Ucapan Kidung yang seindah syair tidak membuat jantung Yama berdebar, tidak membuat hatinya bagaikan padang bunga yang dipenuhi kupu-kupu berterbangan.

Seandainya dulu Kidung remaja mengucapkan hal semanis itu, tentu hati Yama akan girang sekali. Dopamin akan membanjiri saraf-sarafnya dan menciptakan ledakan euphoria. Rasanya akan seperti melambung dan melayang di angkasa.

Namun sekarang tidak. Perpus mini ini bukan kelas 12-IPS-1, di mana mereka duduk bersebelahan di deret bangku paling belakang. Mereka lulus SMA 15 tahun lalu, dan sejak hari kelulusan itu Yama tidak lagi bereaksi terhadap apapun yang orang lain ucapkan kepadanya.

Kini ucapan Kidung hanya terdengar seperti omong kosong yang membosankan.

Dan kehadirannya seperti lalat hijau yang terus berdengung. Kau tahu lalat seperti itu. Dia terus menghinggapimu dan suaranya benar-benar mengganggu.

Tadinya Yama berniat tetap berada di perpus itu sampai malam hari. Dia lebih suka berada di kantor ini daripada pulang. Kondisi di rumah sangatlah depresif.

Namun, karena Kidung tidak mau meninggalkannya, Yama memutuskan pergi lebih dulu.

"Saya pulang duluan." Yama pamit.

"Sampai ketemu besok." Kidung mengamati Yama sampai perempuan itu melewati pintu.

Sambil berjalan perlahan menuju lift, Yama merenungi ucapan Kidung tadi.

'Kalau dipikir-pikir, romantis betul dia tadi.' Yama curiga. 'Gak mungkin kan, tiba-tiba bajingan itu demen sama gue? Perubahan sikapnya terlalu ganjil. Apa tujuan si kunyuk itu sebenarnya?'

'Apa dia emang genit, biasa menggoda perempuan dengan permainan kata?'

'Atau dia hanya berusaha memperalat gue, supaya gue mau jadi asisten dia tanpa dibayar?'

Apapun tujuan Kidung sebenarnya, Yama sudah bertekad untuk membatasi komunikasinya dengan Kidung.

Nama Kidung telah masuk ke daftar hitam Yama, di dalam daftar itu terdapat orang-orang yang tidak Yama anggap ada di dalam kehidupannya.

Mereka Yama anggap sudah mati, sudah hilang di gunung atau di laut. Kalaupun Yama terpaksa harus berurusan dengan mereka, Yama anggap orang-orang itu hanyalah benda. Meski terlihat, mereka tak berarti, mereka hanya setitik noda pada dinding putih.

***

Hening kembali mendekap. Waktu yang berlalu dalam hening itu terdengar bagai mendesis. Dan segala yang tercakup dalam bingkai penglihatan Kidung tampak begitu dramatis.

Kidung tersenyum geli, sekadar menertawakan diri.

Sudah lama sekali tidak ada yang mengusik hatinya, membuat otaknya yang usang berkarat kembali berputar.

Tuntutan mengerikan orang tuanya, narsisisme Sekar, telah menjadi suatu hal lumrah yang tidak lagi menginspirasi Kidung untuk berkarya. Dulu, akibat sering kena gampar bapaknya, Kidung dapat mengisi satu lantai galeri dengan buah tangannya.

Namun sekarang Kidung pria dewasa, bukan pemuda emo lagi. Kemarahan terpendam pada bapaknya tidak perlu dia lampiaskan dalam bentuk kesenian.

Sikap menyebalkan Sekar juga tidak lagi membuatnya patah hati. Kalau mereka gagal nikah, ya sudahlah, toh Sekar juga tidak bisa jadi pendamping setia. Faktanya, mereka tidak pernah saling mencintai. Wanita itu hanya cinta pada egonya sendiri.

Tapi ... Yama ... kembali membangkitkan gairah Kidung untuk melukis, untuk memahat, untuk menciptakan sesuatu demi mendapat sedikit ampunan Yama.

Terutama Kidung hendak mendedikasikan seluruh buah tangannya untuk Yama remaja. Kidung paham benar, sikap tidak acuh Yama pada Kidung sekarang hanyalah suatu mekanisme defensif. Kidung pernah melukai Yama di masa lalu, jadi sangat wajar kini Yama membentengi diri.

Biar Saja Rusuh di RanjangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang