KESEMPATAN

28 15 6
                                    

Nadine berjalan menghampiri kedua orang tuanya yang tengah duduk di meja makan, dengan langkah kecilnya, ekspresi wajah cerah, ceria dan senyum yang bersahabat. Rani menatap putrinya dan tersenyum, pemandangan yang selalu ia lewatkan.

"Pagi, ma-pa" ucap Nadine.

"Pagi sayang," jawab Rani dan Rafli bersamaan.

"Buruan dimakan rotinya, itu di depan temen kamu udah nunggu," ucap Rani.

Nadine yang baru saja menggigit rotinya pun terhenti, ia membeku kaget.

"Temen? siapa? Gisell?" tanya Nadine.

"Justru mama yang harusnya tanya ke kamu, temen baru ya dia?" ucap Rani membuat Nadine menyerngit kan alisnya.

"Punya temen baru kok ngga di kenalin ke mama sama papa" ucap Rafli.

"Hah, bentar deh bentar, temen siapa sih yang jemput Nadine, orang ngga ada yang janjian loh ma-pa" ucap Nadine jujur.

"Ngga usah malu-malu gitu, mama papa kasih izin kok" jawab Rani.

Nadine bergegas menuju halaman rumahnya. Ia penasaran teman siapa yang orang tuanya maksud. Saat dirinya membuka pintu rumah, yang pertama kali ia lihat adalah Mahen.

Ia sedang duduk bersandar di motornya dengan melipat kedua tangannya di depan dada.
Nadine berjalan menghampiri Mahen dengan langkah kaki kecil, ekspresi wajah masam, dan kedua alis yang menekuk tidak bersahabat.

Mahen maju, menatap Nadine dari jauh. Mahen masih tampak tenang, sama sekali tidak terpengaruh dengan kemarahan Nadine.

"Good morning, Nadine," sapa Mahen dengan ringan.

Nadine merengut, sama sekali tidak terkesan dengan gaya Mahen karena laki-laki itu baru saja menghancurkan suasana hatinya di pagi hari.

"Lo ngapain kesini, Lo lupa kemarin gue bilang apa?" Nadine mendesis, rahangnya mengeras."Gue bilang, kemarin adalah hal pertama dan terakhir kalinya gue bareng lo, ngapain lo kesini?!"

Mahen menegakkan tubuh dan lagi-lagi perbedaan tinggi mereka begitu berbeda. Bahu pria itu begitu lebar dan tegak, dagunya tidak terangkat tinggi tetapi masih memberikesan dominasi yang tidak akan Nadine takuti.

"Gue kesini kan mau jemput lo," kata Mahen dengan nada tenang tapi ucapannya justru menyulut kemarahan Nadine. "Lo lupa kalo gue belum meng - iyakan pernyataan lo kemarin."

Wajah Nadine berubah merah padam dan kedua orang tua nya yang sejak tadi memperhatikan dalam diam akhirnya melangkah maju, takut jika Nadine akan meledak.

"Nadine,"panggil Rani pelan, tangannya terulur untuk meraih belakang tas Nadine, menariknya pelan untuk menarik perhatiannya.

Nadine merengut kearah Mahen yang balas menatapnya tanpa berkedip, tidak goyah maupun gentar. Dan itu membuat Nadine semakin kesal. Baru kali ini ia bertemu dengan orang yang begitu keras kepala.

"Kalo lo ngga pergi, biar gue aja yang pergi."

Tanpa mengatakan apapun, Nadine dengan cepat berjalan menjauh sambil bersungut-sungut, meninggalkan Mahen yang menatap punggungnya dengan senyum geli.

"Keras kepala banget," gumam Mahen. "Tapi lucu."

Mobil yang membawa Nadine ke sekolah sudah siap tepat ketika Nadine sampai pada gerbang. Nadine menghela napas dalam sebelum menoleh kearah kaca mobil. Nadine tampak ragu, matanya melirik ke arah jendela, menatap motor yang berkendara tepat di samping mobil yang ia tumpangi.

Nadine mengerang keras dan menggertakan gigi, sengaja tidak menoleh karena ia tahu itu adalah Mahen. Motor Mahen masih terlihat hingga mobil yang ia tumpangi berhenti di halte sekolah Nadine buru-buru dan langsung masuk ke dalam gerbang.

MAHENDRA [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang