Lulus

3 2 0
                                    

Sehebat apapun dirimu mempersiapkan sebuah kata untuk berpamitan.
Yang namanya perpisahan tetaplah menyakitkan.

.Reya Prianca Mehra.
.
.
.
Happy Reading...
.
.
.

Kakiku berdiri tegak dengan mata menatap lekat ke arah dua pusara yang berdekatan. Lagi, aku datang. Membersihkan dan memberikan sepotong doa adalah tujuanku. Melihat dan bercerita sedikit juga akan kulakulan. Tapi hal ini bukan atas dasar akan datangnya bulan ramadhan, melainkan hari di mana aku sudah selesai dengan tugasku. Tugasku untuk menuntut ilmu di tingkat menengah atas. Aku telah lulus. Aku juga ingin Mama tahu.

Setelah lama berdiri dan hanya diam, aku akhirnya mendudukkan badan di samping rumah Mama yang telah lama ia huni. Dulu, aku menganggap Mama tidak menyayangiku lantaran ia pergi terlalu cepat dan tidak akan pernah kembali. Namun sekarang, aku sadar, mama pergi bukan dengan kehendaknya sendiri, tapi perintah dari sang ilahi.

Pakaian acara perpisahan masih melekat di badanku. Serta selempang dengan namaku yang panjang masih terpakai dari samping ke samping badanku. Semua masih lengkap. Aku ingin Mama dan Papa melihat jika aku sudah lulus. Aku telah selesai dengan pendidikanku walau tidak sehebat orang lain.

Mulai kubersihkan daun kering yang tergeletak di atas kuburan Mama, wanita pertama yang kulihat ketika bisa membuka mata secara luas. Wanita yang memberikan kasih sayang walaupun tidak abadi, walau hanya selama empat tahun.

"Ma, Reya rindu," ucapku dengan bibir bergetar menahan tangis. "Reya udah cengeng sekarang, Ma. Reya udah nggak bisa nahan tangis lebih lama lagi." langsung saja air mata menetes di pelupuk yang sedari tadi terdapat genangan di atasnya.

Sungguh, hatiku tidak sanggup ketika melihat teman-temanku berfoto dan berkasih sayang dengan kedua orang tua mereka. Sedangkan aku? Hanya ada Nenek di sana. Aku iri, kuakui itu. Aku ingin Mama sama Papa juga ada di sana, tapi aku tidak bisa egois karena semua sudah diatur oleh yang kuasa.

Kuputuskan berdiri setelah membersihkan kedua pusara orang yang aku sayangi, yang kurindukan bentuk wajahnya. Aku mengeluarkan sesuatu dari saku rokku. Kertas yang terdapat goresan panjang di dalamnya. Sebuah surat untuk Mama dan Papa dariku. Kuletakkan di atas makam Mama. Tadi malam kutulis dengan deraian air mata hingga tertidur sampai pagi.

"Reya pulang dulu ya, Ma, Pa. Reya udah capek banget. Kalau ada waktu dibaca ya suratnya, Reya nggak punya kekuatan buat cerita banyak menggunakan mulut Reya sendiri. Jadi Reya tulis biar Mama nggak sedih dengar Reya nangis." aku melangkah meninggalkan pusara Mama dan Papa. Tempat Mama dan Papa menghabiskan waktunya selama lebih dari sepuluh tahun ini.

Langkah demi langkahku menyeretku menjauh dari pemakaman hingga sampai pada pintu keluar. Sekali lagi kubalikkan badan menatap ke arah pusara Mama dan Papa. Aku menatapnya dengan hati yang merintih. Rasanya sakit, tapi aku tidak tahu di mana letak sakitnya. Kubayangkan jika sosok Mama dan Papa ada di sana, duduk berdua di samping pusara mereka dan membaca surat yang tadi kuletakkan. Sangat hebat diriku dalam berimajinasi, walau sakit rasanya.

Sebelum berbalik, kusempatkan diri tersenyum terlebih dahulu. Dalam hati kembali berpamitan untuk kembali datang dalam waktu yang agak lama.

000

"Gue nggak nyangka kita udah tiga tahun di sini," ucap Septiya yang berdiri di samping kananku. Kini kami tengah berdiri di depan sebuah panggung yang mempertontonkan nyanyian dari beberapa murid yang menyumbang.

Aku mengangguk. Kini, semua sudah selesai. Tujuan hidupku ke depannya adalah untuk berkuliah. Mengambil fakultas yang mungkin bisa kubawa sebagai bekal untukku kelak. Tak bosannya aku menghabiskan uang hanya untuk sebuah pendidikan yang kini naik menjadi perguruan tinggu untuk mencari sebuah gelar.

OktoberWhere stories live. Discover now