Sarkas Untuk Vita

5 2 0
                                    

Happy Reading
.
.

Hari minggu adalah hari yang dinantikan oleh banyaknya remaja pelajar. Di mana hari beristirahat dari enam hari datang ke sekolah di pagi hari. Hari yang bisa mereka gunakan untuk tidur dengan bangun lebih lama.

Subuh, pukul empat kurang sepuluh menit, jam dinding yang berdetak melingkari setiap angka yang ada di dalamnya. Pukul yang masih pagi dengan suhu cuaca yang seperti di kutub, siapapun pada saat ini pasti hanya menghangatkan diri mereka dengan selimut tebal dan jaket kulit. Suhu dingin di subuh hari menjadi pertanda jika nanti siang akan di datangi panas yang terik dari matahari.

Di pukul sekarang, dinginnya subuh, dan malasnya bangun tidak berlaku untuk seorang pria yang tengah khusuk dengan solat malam tahajudnya.

Albian Razaq, pria sederhana itu tengah melaksanakan solatnya dengan hati yang damai. Tak lupa ia menyematkan sepotong doa setelah ia menyelesaikan ibadah sunah tahajud pada pukul empatnya. Setelah melaksanakannya, ia pun berdiri dengan terangkatnya sajadah yang sengaja ia ambil dari bawah kakinya menggunakan kedua belah tangannya.

Setelah melipat baik-baik kemudian meletakkan pada tempatnya, Bian membuka pintu kamarnya menuju dapur yang terdengar berisik oleh tangan seseorang. Bian tahu siapa itu, karena itu ia hendak ke dapur dan menemui pelaku yang sudah berkutat di dapur padahal ini masih subuh.

Bian tersenyum mendapati sang ibu yang tengah berkutat dengan alat dapur yang sudah berpindah-pindah letaknya. Menghampiri, Bian berdiri di samping sang ibu yang tengah membuka panci pengukus miliknya.

"Kenapa pagi-pagi sekali, Bu?"

Adiba, sang ibu yang tidak menyadari kedatangan anaknya kaget. "Kamu buat ibu kaget saja," balas Adiba. Untung saja penutup panci yang panas itu tidak terlepas dari tangannya karena kaget. "Nanti ibu mau pengajian subuh, jadi buat makanan untuk orang-orang yang datang."

Bian mengangguk, ia lupa jika sang ibu memang melaksanakan pengajian satu kali dua minggu setiap hari minggu beberpa hari setelah pindah ini. Hal itu dilakukan oleh ibu-ibu yang ada di wilayah jakarta pusat, mulai dari yang muda hingga lansia.

Bian menoleh pada meja yang bertepatan ada di depan kompor tempat Adiba memasak, di sana sudah banyak tertata makanan yang lezat. Mulai dari kue, agar-agar dan beberapa buah-buahan. Sedangkan yang masih di kompor adalah kue putu hijau yang masih belum matang dari pengukusan.

"Ini baru jam empat subuh, tapi ibu sudah memasaknya." Bian berjalan ke arah samping kiri Adiba dan mengemasi beberapa alat dan bahan masakan yang belum di kemasi. Meletakkan pada bak cuci piring stainless, Bian membantu mencucinya sekalian.

"Biar tidak telat karena ibu akan datang pukul setengah lima nanti," jawab Adiba yang mulai mengangkat kue putu beserta cetakannya dari dalam panci pengukus. "Tidak usah dicuci, Bian, airnya dingin jika subuh." Adiba menegur sang putra yang ternyata sibuk dengan piring dan alat masak yang tadi digunakannya.

"Tidak apa-apa, tadi aku juga sudah berwudu," ucap Bian mulai menyusun semua hasil alat dapur cuciannya.

Adiba tersenyum, bahagia dan bangga dengan anak semata wayangnya. Anak yang tidak berkakak dan tidak beradik, anak yang penyayang dan pintar di beberapa hal.

Umur Adiba yang sudah empat puluh tiga tidak bisa lagi mendapatkan anak. Bagaimana sebelumnya? Sama, Adiba sulit untuk memiliki anak lantaran ia yang dulu sering sakit-sakitan. Sedangkan Bian? Adiba mendapatkan Bian di umur dua puluh enam tahun, sedangkan ia menikah di umur dua puluh tahun. Hingga sampai sekarang, ia tidak bisa mendapatkan saudara kandung untuk Bian, putra kesayangannya.

"Bagaimana sekolah di hari sabtu di sini? Kamu terlalu ingin cepat masuk sehingga masuk di hari jum'at, bukannya senin."

Lengkungan tipis tergambar di bibir tipisnya, kala mendengar pertanyaan sang ibu yang seperti menyesali dirinya yang sekolah di hari jum'at. Memang benar, bukankah tanggung sekolah di hari jum'at? Tapi Bian begitu tergesa saat itu, entah apa faktornya.

OktoberWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu