Fakta Masalalu

18 6 0
                                    

•Sember kecewa dan penghianatan itu banyak berasal dari orang terdekat dan terpercaya.
-Reya Prianca Mehra
.Oktober.

000

Happy Reading...
.
.

Ini sudah malam, dan waktu pulang sudah mendekati. Aku yang masih bersender di bahu Erick malas untuk bergerak. Kami telah banyak bercerita panjang, menceritakan isi hati tentang satu tahun hubungan ini.

"Erick, sepertinya kita harus pulang. Mama kamu bisa marah kalau terlalu lama di luar," ucapku, lalu menegakkan kepala yang sebelumnya di bahu Erick.

Erick menghela nafas. "Beli sesuatu dulu, lah! Buat orang rumah." Erick mengeluarkan selembar uang lalu memberikannya padaku. Ini wajib, jika kami keluar ataupun pulang sekolah bersama, Erick selalu menyempatkan diri untuk membeli sesuatu untuk nenek ataupun yang lain. Memang dasarnya Erick itu bukanlah orang yang pelit.

Aku mulai berdiri dan bergerak ke arah beberapa pedagang. Erick tidak ikut, ia lebih memilih bermain ponsel kesayangannya. Terus berjalan mencari dagangan yang enak, aku menemukan seorang penjual martabak Bandung dengan pembeli yang antri di sana. Sepertinya enak.

"Pak, habis ini saya, ya."

"Punya saya kapan dibuat, pak."

"Pak saya sudah lama menunggu, bisa cepat sedikit."

Suara sorakan dari beberapa pembeli membuat kedai martabak Bandung tersebut terdengar ramai. Banyak perempuan dan laki-laki yang mengantri. Aku yang baru datang seperti merasa tidak kebagian, tapi tidak rela meninggalkan. Mana tahu rezeki, aku bisa mendapatkannya.

Terpikir kembali, Erick bisa menunggu lama jika aku terus menunggu pesananku siap. Ini sangat padat, bahkan untuk memesan saja rasanya tidak mampu karena banyak pembeli. Sepertinya ini bukan tempat yang tepat.

Mengedarkan pendangan, aku melihat sebuah kedai tahu brontak yang sepi, tidak ada pembeli di sana. Hanya ada seorang pria sebagai pedagang yang menatap ke arah ramainya pembeli pada kedai martabak Bandung.

Rasa iba menyelimutiku kala melihat pedagang itu. Pasti ada rasa iri dalam hatinya, melihat perjuangannya seperti sia-sia. Melihat ini, seakan ada misi yang harus aku lakukan, yaitu membeli dagangan tersebut.

Mungkin jika hanya aku yang membeli tidak akan menciptakan nilai jual yang besar, namun bagiku ini dapat menghilangkan sedikit rasa putus asa pada pedagang itu. Walau dia belum tentu putus asa.

Aku mulai berjalan ke arah pedagang itu. Melihat aku yang datang, pria berumur sekitar empat puluh tahun itu berdiri melayaniku sebagai pelanggannya.

"Mau tahunya sepuluh ribu ya, Pak."

Dengan sigap ia mengambilkan kantong lalu memasukan tahu brontak ke dalamnya lalu beberapa saus yang telah jadi. Aku membayar uang lima puluh ribu yang tadi diberikan Erick.

"Kembaliannya buat bapak aja," ucapku saat bapak pedagang itu mulai memilih uang kembalian.

"Tapi, neng, ini terlalu banyak." seperti sungkan, bapak tersebut memberikan kembaliannya kembali.

"Tidak apa-apa, pak, anggap saja rezeki," ucapku tetap menolak kembaliannya.

"Terima kasih ya, neng." aku tersenyum lalu mengangguk. Berbalik, aku harus cepat kembali, Erick sudah pasti lama menungguku.

OktoberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang