Pengakuan Erick

3 1 0
                                    

Happy Reading ...
.
.
.

Suasana kantin selepas istirahat terlihat sangat ramai. Di tambah suara Septiya yang lumayan keras sedari tadi berteriak-teriak di antrian. Aku yang menunggu di meja kantin sedari tadi menghubungi Erick, tetapi ponselnya tidak aktif sejak pagi.

"Reya," panggil Nea pelan ke arahku. Bukan pelan, memang suara makhluk satu ini pelan.

"Apa, Ne?"

"Dulu kamu sama Erick siapa yang suka duluan?"

Aku memutuskan berhenti menghubungi Erick, ganti dengan mendengarkan Nea, gadis terpolos di dunia.

"Erick nya, sih. Kenapa emang?"

"Oh, jadi benar, ya?"

Aku ternganga heran, apa yang sebenarnya yang ditanyakan Nea? Aku sangat tidak tahu apa arah pembicaraannya.

"Apanya yang benar?"

"Ya, kalau mau pacaran harus laki-lakinya suka duluan. Sama seperti kamu dan Septiya."

"Nggak juga kok, kalau kamu suka seseorang bilangin biar kita tahu kalau dia mau apa nggak. Nggak harus kok dia yang suka duluan sama kita," jawabku. Pertanyaan macam apa yang Nea pertanyakan ini. Ya, walaupun aku tahu jika dia belum berpengalaman dalam hal ini. Tapi tolong, anak SD juga tahu konsep hubungan seperti ini. "Lo suka seseorang, ya?" lanjutku bertanya. Tidak biasanya gadis polos ini bertanya tentang pacaran.

"Ya, begitulah. Aku suka sama seseorang, tapi tidak tahu cara mengungkapkannya. Aku juga mengirim pesan pada seseorang tentang perasaanku ini."

Tiba-tiba ingatanku beralih pada pesan Si Tidak Jelas itu ketika mendengar mengirim pesan, yang dikatakan Nea. Apa jangan-jangan...

"Ne, jadi lo yang Si Tidak Jelas itu?"

"Hah," kagetnya kemudian.

"Nih, emosi gue ngantri." Septiya detang dengan pesanan kami, hingga menghentikan aku dan Nea yang tengah bercerita.

"Jangan tanya aku dulu, Re." Mata Nea mengkode ke arah Septiya, dan itu disadari oleh sang empu.

"Apa, lo?"

"Tidak ada, kok. Iya 'kan Re?" Aku hanya diam, berkutat dengan pikiranku. Apa jangan-jangan Nea lah pelaku yang selama ini membuatku terasa diteror?

Akhirnya aku menuruti apa yang dikatakan Nea, tidak menanyakn apa-apa dulu. Mungkin dia menjaga privasi dengan Septiya, karena sahabatku yang satu ini memang suka membuat malu.

"Hai gadis-gadis cantik." suara Jejen. Ternyata benar, suara pria tukang usil itu memang sangat keras, sama seperti Septiya. Mereka cocok.

Jejen datang dengan Gery dan juanda saja. Tidak ada Erick dan Bian. Mau bertanya rasanya juga sangat malas. Karena Jejen sering tidak mengetahui di mana keberadaan Erick.

"Aduh, Iblis datang." itu Septiya. Walaupun memiliki kemiripan suara yang sama, mereka sangat tidak bisa dicampurkan. Pasti akan selalu bertengkar.

"Orang seganteng ini dibilang Iblis. kemana mata lo, cawit?"

"Cawit itu apa, sih," tanyaku penasaran. Karena Cawit dengan nama panjang Septiya itu bertolak belaka. Tidak ada kesamaan pada namanya.

"Cawit itu, kepanjangan dari Cabe Rawit. Nama samaran dia itu, mah." aku tertawa, begitu juga dengan Nea. Ada-ada saja Jejen ini.

"Bian mana?" Tanya Nea yang ada di sampingku.

Aku langsung menangkap sesuatu. Apa Bian yang dimaksud Nea yang tengah ia sukai?

OktoberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang