Wanita Hangat

6 2 0
                                    

"Jika ingin bahagia, maka carilah orang yang mencintaimu, bukan yang kamu cintai."

.Tante Adiba.
.
.
.
Happy Reading...
.
.
.

Aku berdiri, hendak pergi lebih dulu karena merasa bersalah bercampur malu. Namun tanganku ditahan ketika akan melangkah pergi.

"Aku mohon dengarkan penjelasanku dulu, Reya. Jangan seperti ini." aku menatap Bian dengan alis menyatu. Aku, tipe orang yang rela lari dari masalah malah ditahan oleh Bian. Memang Bian tidak tahu sifatku ini.

Aku menatap penuh tanya ke arahnya. "Duduklah dulu!" pintanya padaku.

Kuputuskan untuk duduk kembali. Aku tidak marah, melainkan hanya itu saja—malu. Bian menghela nafas, lalu menatap ke arahku dengan pandangan sayu. "Aku tahu, jika alasan ini kukatakan kamu mungkin tidak percaya. Maaf telah melakukan hal memalukan itu." Bian menunduk. Pria dengan tampang yang menenangkan itu seperti berat untuk berbicara. "Tapi Reya, hal itu kulakukan memang untukmu." alisku tambah menyatu begitu juga dengan kerutan di pelipisku.

"Maksudmu?"

"Kamulah orang kucintai." seketika mulutku tidak dapat lagi memilah kata. Hal ini sangat mengejutkan untuk kuterima. Entah Bian berbohong entah bagaiman tapi rasanya ini sangat di luar kebenaran. "Aku mencintaimu di pandangan pertamaku. Di saat kamu belum tahu denganku. Kamu belum pernah melihatku pertama kalinya, tapi aku sudah jatuh cinta padamu. Ini sangat memalukan untukku katakan, Reya." Bian mengusap wajahnya dengan telapak tangannya.

Sedangkan aku malah merasa ini sangat tidak bisa dimengerti. Di mana Bian melihatku untuk pertama kalinya?

"Kamu ingat saat kamu membeli tahu di taman kota saat malam hari? Kamu membelinya lalu memberi bapak itu uang juga. Kebaikan itulah yang membuatku merasa sangat jatuh hati padamu, Reya." tiba-tiba sekelas ingatan muncul di benakku.

Kucoba ingat saat meninggalkan pedagang itu terlihat dua orang pria yang datang, dan sekilas mirip dengan Bian. "Kamu salah satu dari pria yang kemudian datang itu?" tanyaku antusias.

Bian terkekeh kecil lalu menganggukan kepala. "Jadi kamu masih ingat."

"Tapi dari mana kamu mendapatkan nomorku saat itu?" kemudian terpikir kembali olehku mengenai nomor ponsel yang tiba-tiba bisa di dapatkan Bian.

"Dari Erick. Aku mencurinya ketika kamu menelfon dengannya," katanya dengan enteng. Aku ternganga dengan hal yang diucapkannya.

Bian kembali terkekeh lalu berucap, "Maaf, Reya."

Aku menghela nafas gusar, kenapa menjadi seperti ini. Mendadak suasana menjadi canggung. Aku tidak tahu harus merespon dengan apa? Fakta ini membuat aku menjadi batu. Aku pikir, Bian terpaksa melakukan ini semua—menjalani hubungan atas permintaan Erick—ternyata tidak. Perasaanya murni ada padaku.

"Aku tahu, kamu mungkin sulit untuk mempercayainya, tapi ini nyata, Reya. Perasaanku padamu nyata tanpa ada paksaan." Bian kembali bersuara setelah lama kami sama-sama diam. "Karena perasaan ini jugalah aku meminta status itu padamu. Jika bukan karena hal ini, aku tidak akan mau memintanya dengan iming-iming berkorban. Aku bisa saja menjagamu dari jauh tanpa ada ikatan pacaran, tapi aku mencintaimu dan ingin bersamamu," sambungnya kemudian.

"Tapi aku tidak sebaik apa yang kamu lihat, Bian. Aku memiliki banyak sekali kekurangan. Aku rasa, hanya Erick yang bisa menerima ini semua. Tapi orang tuanya malah tidak menerima itu semua." aku mengambil nafas. "Dan saat dia nanti kembali, aku memutuskan untuk tidak menyambung hubunganku dengannya. Begitu juga denganmu, aku ingin memutuskan semuanya dan ingin kembali sendiri seperti sebelum Erick datang di hidupku." aku menunduk lesu.

Oktober ✔Where stories live. Discover now