Kaya Ilmu Akhirat

3 2 0
                                    

Dia kaya akan ilmu akhirat, sedangkan aku miskin ilmu akhirat dan dunia.

.Reya Prianca Mehra.
.
.
.
Happy Reading...
.
.
.

Waktu mengerjakan ujian berakhir. Kami bertigapun telah selesai. Ujian terakhir kami adalah fisika. Masih banyak murid di dalam kelas. Mereka masih mengerjakan walaupun waktu telah habis. Mata pelajaran ini sebelas dua belas dengan matematika, jadi ada banyak anak murid yang tidak suka dengan mata pelajaran ini.

"Lo pulang sama siapa, Re? Gue sendiri nih." hampir setiap hari Septiya mengajukan dirinya untuk menjadi sopirku sepulang sekolah-semenjak kepergian Erick. Walaupun dia tahu jika sudah tiga minggu aku pulang dengan Bian.

Aku menggeleng. "Gue mau pulang sama Bian kayaknya."

"Aku lihat-lihat kamu dekat, ya, sama Bian sekarang," kata Nea yang ada di sebelah kananku. Kami sudah keluar dari kelas, dan menuju tujuan masing-masing untuk pulang.

Aku yang mendengarnya mendadak tersenyum simpul. Sudah tiga minggu berlalu, tapi Nea baru menanyakannya hari ini. "Lo udah berapa lama lihat gue dekat ama dia? Nanyanya kok malah sekarang," sindirku menatap datar ke depan.

"Aku merasa takut saja buat nanya," gumannya menggaruk kepalanya.

"Kenapa? Lo cemburu?" godaku padanya yang kini tampak memutar mata.

"Bukan begitu! Aku ngerasa aneh aja gitu, kemarin kamu sama Erick sekarang kamu malah sama Bian." hatiku mendadak nyeri ketika ucapan itu keluar dari mulut polos Nea. Jangankan orang lain, sahabatku sendiri seakan merasa aneh dengan hubunganku dan Bian. Walaupun mereka tidak tahu aku dan Bian sudah berpacaran sekitar satu bulan yang lalu.

"Kami cuman menjaga amanah aja, kok, Ne. Erick yang minta." kulihat Nea menganggukkan kepalanya paham. Tumben dia tidak bersikap lola sehari ini.

"Bilang aja lo iri. Lo kan juga suka sama Bian." Septiya bersuara, ia memilih berdiri di samping kiriku setelah lama berjalan sendiri di belakang. Mereka pasti belum sadar jika aku tengah tersinggung dengan ucapan Nea barusan.

Nea menatap tajam Septiya. "Aku memang suka sama dia, tapi maaf, aku lebih suka sama orang yang selama ini aku kagumi. Dia cuma sebatas pengalihan aku aja, kok. Bisa dibilang aku juga salah satu fans-nya." Nea beralih menatap ke arahku yang tepat ada di tengah-tengah. "Aku cuman mau bilang, jangan sampai kamu jatuh cinta, Reya. Karena sosok Bian itu begitu cepat menjelma menjadi dambaan hati wanita," lanjutnya kemudian.

Aku tersenyum masam. Padahal, aku begitu ingin hatiku menetap pada sosok Bian, agar ia bisa menghapus bayang-bayang Erick di pikiranku.

Walaupun sudah tiga minggu interaksi kami berjalan layaknya orang pacaran, tapi sungguh, hatiku masih belum bisa terbuka untuknya. Bahkan hanya sedikit.

Akhirnya kamipun sampai di tempat parkir. Di sana sudah kulihat Bian yang menunggu dengan bermain benda pipih mahal miliknya. Nea dan Septiya masih saja beradu argumen dengan topik yang baru saja kami bahas-tentang hubunganku dan Bian.

"Gue duluan, ya. Hati-hati di jalan nanti," pamitku pada dua orang yang paling random di dunia itu.

"Iya, Reya, kamu juga, ya." Nea melambaikan tangannya saat aku mulai menjauh darinya. Dengan senang hati aku membalas lambaian itu. "Bian! Aku tadi titip salam sama Reya. Hati-hati ya, Bian!" Teriaknya memanggil Bian yang lumayan berjarak darinya.

Pria yang tengah duduk di motor bongsor itupun tersenyum ketika mendengar ucapan tidak berbobot Nea.

Nea dan Septiyapun melesat dari parkiran setelah satu menit berlalu. Kini akupun berdiri di samping motor Bian. Menunggu ia yang kini bergerak hendak mengeluarkan motornya dari parkiran yang sangat padat dengan motor murid lain.

OktoberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang