Kabar Baru Erick

3 2 0
                                    

  Aku yakin cepat atau lambat semua juga akan berubah. Semua hanya butuh waktu.

.Reya Prianca Mehra.
.
.

Happy Reading...
.
.
.

Seperti akan turun hujan, langit sore ini tidak lagi memancarkan cahaya jingga yang indah, melainkan awan kelabu yang bergelantung kuat di sana. Banyak orang mengatakan, hujan adalah bunyi yang indah untuk pengantar tidur. Baik di siang hari maupun di malam hari, hujan selalu membuat tidur menjadi nyenyak. Akan tetapi, semua itu tidak berlaku untukku. Bagiku, hujan adalah suara yang berisik.

Aku rasa malam ini akan diguyur hujan yang lebat. Semoga saja saat sampai di rumah nanti hujan tidak menghujamiku sampai kuyup.

Setelah menghabiskan waktu lebih dari satu jam, kami bertiga akhirnya pulang. Banyak yang kami lakukan di sana. Kadang bercerita, mengerjakan pekerjaan rumah untuk besok, bahkan juga bermain game online.

Di luar sekolah hal ini jarang kami lakukan. Karena apa? Karena kami sama-sama malas. Kadang hanya aku yang pergi menemui Septiya ke rumahnya. Sedangkan ke rumah Nea? Rumahnya terlalu jauh untuk kutempuh dengan berjalan kaki.

Tidak terasa akhirnya aku sampai di rumah nenek dengan selamat, dan tidak basah kuyup—seperti yang kupikirkan tadi. Mobil milik tante Vera masih berdiri di tempatnya. Mereka belum berkeinginan untuk pulang sepertinya.

Aku memasuki rumah yang ternyata telah duduk kak Anas di ruang keluarga sendirian. Aku menghampirinya yang tengah asik dengan posel genggamnya.

"Lagi ngapain?"

"Kamu putus sama Erick, Re?" aku seketika mengerutkan dahi. Bukannya menjawab pertanyaanku, kak Anas malah menanyakan hal yang tidak benar sama sekali.

"Nggak, Kok."

"Trus ini apa?" kak anas memperlihatkan layar ponselnya padaku. Layar yang tertera sebuah aplikasi berbalas pesan.

Nama Erick tertera di sana, juga dengan isi pesan yang langsung membuatku sulit untuk bernafas. Pesan yang membuat gemuruh kuat di dadaku. Gemuruh yang kemudian pula datang dari langit yang sudah kelabu pekat. Hujanpun turun membasahi tanah, tapi tidak mampu memadamkan rasa marah dan api emosi di hatiku.

000

Reya udah punya yang baru, Kak. Dia udah bahagia sama orang baru yang akan selalu ada di samping dia.

Kalimat yang tertera di ponsel kak Anas itu, pesan dari orang yang sudah lama kunantikan notifikasi-nya. Orang yang amat kucintai. Kalimat itu masih terbayang-bayang di pikiranku sampai saat ini. Saat di mana aku telah selesai dengan bercerita banyak dengan kak Anas.

Semuanya aku ceritakan pada kak Anas, cerita yang memang telah kualami selama ini; hubungan satu tahunku yang begitu banyak pengorbanan, kebohongan hingga keiklasan yang saat ini kurasakan. Begitu juga dengan sosok Vita sebagai penghancur, dan bagaimana cara ia menghancurkannya. Begitu juga dengan Bian dan hal yang tengah kami lakukan.

"Jadi yang datang tadi ke sini itu orang yang namanya Bian?"

Ha? Keheranan aku menatap ke arah kak Anas. Untuk apa Bian ke sini?

"Iya, tadi ada cowok nanyain kamu. Dia setinggi Erick pake motor besar warna hitam." seperti tahu aku yang tengah keheranan, kak Anas memperjelas ucapannya.

000

Aku memukul-mukul kepalaku yang sedari tadi tidak tenang. Ada banyak pikiran yang membuatku sampai merasakan denyut di bagian kanan-kiri kepalaku.

OktoberWhere stories live. Discover now