Status Bian

4 2 0
                                    

Happy Reading...
.
.
.

"Udah sampai sini aja." Motor besar berwarna hitam legam milik Bian berhenti di depan gang kecil menuju rumah nenek.

"Kenapa sampai sini?"

"Dekat, kok, buat sampai ke rumah." kulihat mata Bian menatap ke arah gang kecil itu. Tatapan seperti tengah berfikir.

"Kenapa nggak langsung aja aku antar?" aku menghela nafas lemah. Bisa-bisa aku akan ditanyai oleh nenek kenapa pulang dengan orang lain bukannya Erick. Nenek tidak tahu jika Bian juga teman Erick, dan aku tidak tahu harus menjawab apa karena tidak pandai dalam hal berbohong.

"Nggak, apa." aku turun dari motor Bian memberikan helm yang seharusnya ia kenakan, tapi malah memberikannya padaku. "Makasih tumpangannya. Bilang sama Erick buat jaga dirinya baik-baik," sambungku sebelum menjauh dari hadapan Bian.

Pertanyaanku waktu di perpustakaan langsung dijawab oleh Bian, tapi jawaban itu sangat menyakitkan untuk kuterima.

Erick telah sampai sekitar jam satu siang—jika dilihat waktu di Indonesia—di Sydney. Alasan ia tidak membalas pesanku, ia tidak diperbolehkan berkomunikasi denganku oleh orang tuanya. Sangat jahat. Satu lagi yang membuat aku sangat kecewa berat, Erick tidak menanyakanku pada Bian beberapa hari ini. Apa dia sangat bahagia di sana? Hingga lupa dengan aku yang selalu menunggu pesannya.

Tidak terasa aku telah sampai di rumah nenek. Seketika aku menjadi kaget dengan mobil pribadi yang terparkir di depannya. Tante Vera? Setelah lebih satu bulan tante Vera akhirnya datang lagi ke rumah.

Langkah kakiku terus membawaku ke dalam rumah. Pendengaranku juga mulai menangkap suara tawa yang lebih dari dua orang di dapur.

Lima menit telah habis olehku untuk mengganti dan beres-beres kamar. Sangat cepat bukan, tapi bisa dipikirkan bagaimana bentuk kamar yang aku bersihkan, hanya sedikit karena kamarku memang tidak pernah berantakan.

Selanjutnya, aku menghampiri suara yang tadinya tawa, sekarang digantikan dengan berbicara biasa, atau bisa dibilang bercerita.

Aku menyembulkan kepalaku di pintu masuk dapur. Terlihat di sana nenek, tante Vera, om Zaro dan kak Anas. Mereka juga menyadari aku yang tiba-tiba datang.

"Eh, udah pulang, Re?" tanya tante Vera.

Aku menyengir, berjalan mendekat pada mereka dan menyalimi semua yang ada di sana. Kegiatan mereka saat ini hanya makan. Terlihat beberapa kue yang sudah tersaji di atas meja makan. Mungkin mereka memakan kue itu sambil bercerita.

"Kamu pulang sama siapa? Erick? Nggak diajak masuk." aku langsung saja diam setelah duduk di sebuah kursi di meja makan saat mendengar pertanyaan nenek. Bagaimana cara menjelaskannya.

"Nggak, Nek, Reya pulang bareng teman."

"Kenapa nggak ada bunyi motor datang?" nenek kembali mengintrogasiku.

Aku meringis menggaruk kepalaku yang tidak gatal, Kehiangan kata-kata. "Reya diantar sampe gang aja, Nek, jadi ke sini jalan kaki dari gang," jawabku pelan. Benar bukan? Aku tidak berbohong, aku memang diantar sampai gang walaupun itu permintaanku.

Sengaja aku tidak ingin diantar Bian sampai rumah itu karena tidak ingin di tanya seperti ini, tapi walaupun begitu ternyata aku tetap saja ditanya.

"Aku lihat Erick nggak lagi di Jakarta deh kayaknya. Kemarin postingan dia lagi di bandara, tapi nggak tahu di mana." Kak anas yang tengah mencomot kue bersuara. Aku yang sudah tidak lagi di tanya mendadak menjadi sedih. Erick tidak merasakan sedih sedikitpun. Ia tetap melakukan aktivitasnya seperti biasa. Erick memang sangat suka mengunggah foto di media sosial, hal itu juga salah satu faktor dirinya terkenal, ditambah dengan followers-nya yang banyak.

OktoberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang