22| Nasib si bungsu

331 36 3
                                    

Febriantara benar-benar sakit. Rupanya kemarin tidak bercanda. Padahal kemarin tampak jauh lebih baik dan masih bisa tertawa. Namun siapa sangka? Akhirnya ambruk juga.

Setelah adik-adiknya berangkat, Abimanyu bersama Bagaskara membersihkan rumah. Abimanyu menyapu dan mengepel sementara Bagaskara menjemur pakaian usai mencuci pakaian.

Untuk Febriantara, jangan tanya. Anaknya tidur pulas setelah minum obat di kamarnya. Dan syukurnya, demamnya perlahan turun.

"Gas, jujur deh sama Abang. Kamu tiba-tiba pulang gini, pasti ada alasannya kan?" tanya Abimanyu yang sedang mengepel teras.

"Ya aku pulang karena kebetulan lagi senggang aja bang," jawabnya dan Abimanyu tak langsung percaya.

"Terus kerja part time kamu?" Bagaskara melirik Abimanyu, pria itu kemudian mengambil ember dan pel lantai untuk di bersihkan.

"Bang Abi udah kelar kan ngepelnya?" Abimanyu diam. Pria itu terus memperhatikan adiknya yang sibuk membersihkan pel lantai.

Selagi membersihkan pel lantai, Abimanyu membantu Bagaskara untuk menjemur pakaian.

"Kamu tau gak sih? Laki-laki itu yang di pegang omongannya?" Abimanyu sengaja memancing Bagaskara untuk bicara.

"Bohong itu kayak narkoba, sekali bohong nanti pasti bakal bohong terus untuk menutupi kebohongan selanjutnya." Sesekali Abimanyu melirik Bagaskara yang belum kelar membersihkan pel lantai.

"Abang akuin, kalau Abang pernah bohong beberapa kali. Dan sekarang Abang nyesel karena Abang telat jujur," ucap Abimanyu yang menghela napas.

"Abang gak mau buat adik-adik kecewa, termasuk kamu." Bagaskara langsung diam, pria itu kemudian membalikkan tubuhnya menatap Abimanyu.

"Bagas mau berhenti kuliah bang," ucap Bagaskara yang membuat Abimanyu stagnan.

"Bagas gak mau memberatkan bang Abi lagi, di antara yang lain, pendidikan Bagas yang paling mahal. Belum lagi Bagas ngekos." Bagaskara mengepalkan tangannya.

"Bagas pikir, Bagas harus siap-siap untuk jadi kakak tertua kalau bang Abi pergi. Kalau Bagas tetep kuliah, itu artinya Bagas egois. Nanti siapa yang kerja buat biayain adik-adik?" Bagaskara mendongakkan kepala, berupaya agar air matanya tak jatuh. Matanya padahal sudah berkaca-kaca namun Bagaskara berusaha menahan air matanya. Akhir-akhir ini, perasaan sensitif sekali apalagi setelah tau abangnya di diagnosa penyakit parah dan umurnya tidak lama lagi.

"Sekarang ini, Bagas lagi nyiapin surat buat pengunduran diri. Dan secepatnya Bagas bakal tinggal disini lagi--" Belum selesai bicara Abimanyu langsung memotong ucapan adiknya.

"Jangan! Sampai kapan pun, Abang gak akan izinin kamu pulang sebelum kamu lulus kuliah!" tegas Abimanyu, pria itu kemudian menghampiri Bagaskara.

"Kenapa kamu pusing-pusing mikirin Abang? Abang kan bilang, kalian adik-adik Abang cukup fokus sama sekolah masing-masing dan belajar yang bener. Untuk sisanya, itu tanggung jawab Abang sebagai kakak tertua." Abimanyu mengepalkan tangannya. Tidak. Ia tidak bisa membiarkan adiknya menjadi seperti dirinya. Bagaskara harus lulus sebagai mahasiswa kedokteran sebagaimana mimpinya dulu sewaktu kecil. Begitupun adik-adiknya lainnya.

"Tapi bang, kalau Bagas tetep maksa kuliah sampai lulus adik-adik gimana? Keluarga kita ini gak punya tabungan apapun, terus kita harus mengandalkan siapa kalau bang Abi pergi?" Bagaskara tetep kekeuh dengan keinginannya untuk keluar. Dia tidak bisa terus-terusan egois. Saat ini, dia harus mengorbankan mimpinya untuk menggantikan posisi Abimanyu nantinya.

"Gas, dengerin Abang. Kuliah itu tanggung jawab kamu. Mimpimu jadi dokter itu, juga tanggung jawab kamu. Masalah biaya, itu tanggung jawab Abang. Jadi, kamu cukup fokus sama kuliah mu aja, lagian kamu juga udah banyak bantu Abang kok. Dengan kamu kerja part time aja, itu udah membantu meringankan abang." Abimanyu menjelaskan, meskipun dia ingin marah tapi ia berusaha sebisa mungkin untuk mengontrol emosinya agar tak meledak.

No Time To DieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang