Delapan Belas

290 15 1
                                    

"Lo yakin rela lihat dia menikah lagi?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Lo yakin rela lihat dia menikah lagi?"

Aku menggeleng. "Jujur rasanya berat. Bahkan aku masih sering berdoa semoga Allah membukakan pintu hati Mas Fatih agar mengurungkan niatnya. Menurut kamu apa aku egois saat mulut mengatakan iya tapi dalam doa mengatakan tidak?"

"Menurut gue, lo enggak egois. Tugas kita selain usaha memang berdoa, bukan? Wajar jika seorang istri enggak rela suaminya menikah lagi." Dita meraih tanganku. Menggenggamnya, menyalurkan kekuatan. "Bagaimanapun akhirnya nanti, Allah pasti kasih yang terbaik buat lo. Asalkan lo jangan jauh-jauh dari Allah."

"Pokoknya gue selalu berdoa yang terbaik buat lo," lanjutnya.

Aku mengangguk. Mengucapkan terima kasih banyak tanpa suara. Hanya gerakan bibir. Sambil menghapus pelan air mata yang berjatuhan.

"Manusia itu hatinya mudah berbolak-balik, Sha. Makanya, kita harus banyak-banyak baca doa memohon keteguhan hati. Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati kami di atas agama-Mu."

Bersamaan kami mengucapkan amin. Ada jeda beberapa saat sampai Dita kembali membuka suara.

"Eh, ngomong-ngomong lo bakal dijemput enggak pulangnya?"

"Hari ini Mas Fatih pulang malam. Jadi enggak bisa jemput." Tadi pagi saat mengantarkanku ke kampus, Mas Fatih memang bilang dia ada jadwal jaga malam.

Dita manggut-manggut. "Berati lo pulang bareng gue aja."

"Tapi boleh enggak mampir dulu ke Toko Kue Ibunda?" Aku memasang senyum semanis mungkin agar Dita tidak bisa menolak. "Aku jadi ingat tadi pagi lewat situ tiba-tiba sekarang pengen makan butter cake."

"Boleh dong, apa sih yang enggak buat calon ponakan gue." Dita menopang dagu dengan kedua tangan. Tersenyum lebar.

Aku langsung menggelembungkan pipi. "Oh jadi cuma buat calon keponakannya aja?"

Dita berdecak. "Ternyata, semenjak jadi bumil lo jadi baperan sama gampang nangis, ya? Padahal sebelum hamil galaknya kayak macan ngamuk."

"Terus kalau dilihat-lihat pipi lo jadi tambah berisi." Tanpa aba-aba Dita menoyor pipiku. "Jadi lucu kalau manyun kayak gitu." Seketika tawa menguar darinya. Beberapa orang yang ada di taman fakultas sampai menoleh ke arah kami.

"Iya, iya, aku akui apa yang kamu katakan memang benar adanya. Puas?" tantangku sambil bersedekap. Soal itu aku memang tidak bisa mengelak. Benar adanya.

"Astaghfirallah, gue mencium hawa-hawa kemunculan macan ngamuk." Dita membekap mulutnya.

"Ketawa aja terus sepuasnya!"

Dita tak bersuara. Menjawab dengan gelengan. Seru juga mengerjainya.

"Memangnya aku badut sampai bisa buat kamu terpingkal-pingkal. Hah?"

"Gue enggak bilang, ya. Lo sendiri yang ngomong gitu." Dita menggaruk tengkuknya. "Iya, deh maaf. Enggak lagi-lagi ganggu macan yang lagi hamil."

"Dita!" Kali ini aku benar-benar kesal dengan ucapannya. Dia berlari. Tak banyak pikir, aku juga mengejarnya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 19 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Cinta ShanumWhere stories live. Discover now