Empat

157 12 0
                                    

"Apa salahnya berbagi suami?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Apa salahnya berbagi suami?"

Apa dia tidak salah bicara? Atau telingaku yang bermasalah?

"Seharusnya kuliah di jurusan pendidikan anak-anak membuatmu mengerti. Kalau sikap kamu itu kekanak-kanakan. Enggak dewasa."

Refleks aku berdiri. Menatapnya lekat-lekat. Seketika suasana taman yang awalnya menyejukkan berubah menjadi panas. Seakan-akan aku melihat bunga-bunga yang bermekaran berubah menjadi layu. Seolah-olah mereka yang berusaha kurawat dengan baik mengerti bagaimana suasana hatiku saat ini.

"Kamu bilang apa Syif? Kamu enggak sadar apa yang kamu lakukan bisa menghancurkan rumah tangga orang lain?"

"Ah, bukan orang lain. Tapi, sosok yang sudah kamu anggap teman dekat dan kakak sendiri," ralatku.

Syifa memutuskan kontak mata. Telihat salah tingkah. Satu tangannya mengelus lembut bagian perut yang sepenuhnya terhalang jilbab.

"Itu namanya kamu egois, Syif. Kamu juga kuliah di jurusan konseling harusnya bisa lebih memahami perasaan orang lain," tegasku. Aku menghela napas. Berusaha mengendalikan emosi.

Syifa tidak juga bersuara. Pandangnya menyapu tanah yang dipenuhi kerikil.

"Enggak mungkin tiba-tiba saja Mas Fatih mau menikahi kamu kalau enggak ada hal kuat yang mendasarinya," cecarku.

Perempuan berjilbab biru langit itu mendongak. "Jodoh enggak ada yang tahu, Sha. Mungkin memang jodohku Kak Fatih. Bukan almarhum A Radit."

Sepertinya, Syifa memang tidak bisa diajak bicara baik-baik.

"Istighfar, Syif. Suami kamu baru saja meninggal satu bulan yang lalu. Tanah makamnya saja belum kering. Aku enggak kebayang bagaimana Dokter Radit jika tahu ternyata istri yang sangat dia cintai secepat itu melupakannya."

"Cukup, Sha! Kamu enggak ngerti dan enggak akan pernah mengerti bagaimana rasanya jadi aku. Aku tahu selama ini kamu selalu hidup bahagia. Tapi, bukan berarti kamu bisa seenaknya mengatakan aku egois dan semacamnya. Aku juga berhak bahagia, Sha," jelasnya dengan mata berkaca-kaca.

Aku merasa tidak enak sekaligus serba salah. Harusnya aku yang tersulut emosi seperti itu.

"Semua orang berhak bahagia Syif. Termasuk kamu. Tapi, bukan berarti kamu harus merusak kebahagiaanku," ucapku setenang mungkin. Syifa sedang mengandung. Dia tidak boleh terlalu banyak pikirkan setelah baru saja duka menyelimutinya.

Aku tidak sejahat itu.

Aku dan Syifa sama-sama diam. Tak berselang lama bunda dan Umi Khadijah datang.

"Kok saling diam seperti sedang musuhan saja? Padahal biasanya suka heboh," ucap umi.

Aku tersenyum canggung.

"Enggak, kok, umi. Tadi juga kita habis ngobrol soal bayi dalam kandungan aku. Semoga kamu juga cepat menyusul, ya, Sha." Syifa melirikku. Tersenyum. "Biar di rumah ini ada tangisan bayi sama Bang Fatih juga betah lama-lama di rumah. Terus nanti anak kita bisa main bareng, deh."

Cinta ShanumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang