Dua Belas

320 14 12
                                    

Aku tahu berandai-andai tidak diperbolehkan

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Aku tahu berandai-andai tidak diperbolehkan. Tetapi jika waktu bisa putar, biarkan aku saja yang menanggung rasa sakit yang Mas Fatih rasakan.

"Harusnya bukan Mas Fatih yang berada di sana. Tapi, aku. Aku yang seharusnya berada di posisi itu." Pandanganku terus tertuju pada ruang UGD. Di sana Mas Fatih sedang berjuang.

Dekapan kedua tangan mama semakin mengerat.

"Kenapa harus Mas Fatih?" rancauku melemas.

"Sayang, ini bukan salah kamu. Ini sudah takdir Allah."

"Shanum enggak mau Mas Fatih terluka."

"Iya mama paham, enggak ada yang menginginkan orang yang mereka sayangi terluka."

Ucapan mama tak bisa kucerna dengan baik karena rasa sakit di perut semakin menjadi. Saat terjatuh, aku memang sempat merasa tidak enak dibagian perut. Tetapi tak kupedukikan karena kondisi Mas Fatih lebih penting.

"Ma, perut Shanum sakit," jelasku sebelum persendian kaki kehilangan tenaga untuk berpijak disusul gelombang kegelapan.

Samar-samar aku merasakan usapan lembut di kepala. Pusing di kepala membuatku berat untuk membuka mata. Semua bagian tubuhku pun terasa sakit. Secara bersamaan ingatan mengenai kejadian mengerikan itu berlomba-lomba muncul dalam benak.

Astaghfirullah, Mas Fatih!

Kedua mataku sempurna terbuka. "Mas Fatih?"

"Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar." Mama memberikan kecupan singkat di keningku. Air matanya menetes mengenai wajahku. "Sayangnya mama perempuan hebat, insyaAllah bisa melewati semua ini."

Padanganku mulai berembun. Refleks satu tanganku yang terbebas dari selang infus mencengkram seprai.

"Perut kamu bagaimana masih sakit?"

Aku menggeleng. Disusul gelombang air mata. Rasa sakit yang aku rasakan tidak sebanding dengan apa yang sedang Mas Fatih rasakan.

Wajah mama berubah panik. Sontak mama melepas genggamannya pada tanganku. Tetapi langsung kuraih kembali.

"Ma jangan pergi, Shanum enggak kenapa-kenapa, kok. Shanum cuma mau ketemu Mas Fatih," beberku.

"Tapi kondisi kamu masih belum stabil. Mama panggil Dokter Mala dulu ya untuk memeriksa keadaan kamu."

Tunggu-tunggu, dokter Mala? Bukankah dokter Mala dokter kandungan. Beliau salah satu teman dekat mama. Aku mengenalnya karena beberapa kali pernah bertemu.

Memahami kebingunganku, Mama mengarahkan tangannya pada perutku. Memberikan usapan lembut di sana. "Di sini ada titipan dari Allah yang harus kamu jaga."

Mataku berkedip tak percaya.

Wajah mama berubah berseri-seri. Sesekali mama mengusap pipinya yang basah. "Selamat sayang, sebentar lagi kamu akan menjadi seorang ibu."

Cinta ShanumDonde viven las historias. Descúbrelo ahora