Sebelas

245 12 1
                                    

"Ya Allah, atur saja bagaimana baiknya," ucapku tersendat

Oops! Această imagine nu respectă Ghidul de Conținut. Pentru a continua publicarea, te rugăm să înlături imaginea sau să încarci o altă imagine.

"Ya Allah, atur saja bagaimana baiknya," ucapku tersendat. Mengakhiri doa.

Ada kelegaan yang aku rasakan setelah bercerita panjang lebar kepada-Nya. Bukankah yang diperlukan ketika menghadapi masalah selain solusi adalah ketenangan? Tetapi sering kali aku lupa akan hal itu. Tak langsung mendekat kepada-Nya, padahal Dia lah Yang Maha Mebolak-balikan hati. Begitu mudah bagi-Nya mengubah hati yang sedih menjadi lapang.

Ya Allah, maafkan hamba-Mu yang hina ini.

Aku melipat mukena dengan sedikit tergesa karena mendengar suara roda empat masuk ke bagasi. Aku mengenali suara mobil itu. Tidak salah lagi itu Mas Fatih.

Apa kata mama ada benarnya juga. Aku tidak bisa terus lari dari masalah. Meski berat rasanya, aku tetap meneguhkan langkah untuk menemui Mas Fatih.

"Kita perlu bicara. Tapi enggak di sini," todongku yang membuat Mas Fatih menolak tawaran minum Teh Widia. Ekor mataku sempat menangkap ukiran senyum di wajah lesu lelaki itu.

"Sayang, kenapa duduk di belakang?" tanya Mas Fatih mendapatiku tak duduk di sebelahnya.

"Kalau banyak tanya, saya akan mengurungkan niat untuk kita bicara."

Mas Fatih masih enggan untuk duduk. "Tapi dik."

"Pergi atau enggak?" ancamku.

"Baiklah," jawabnya pasrah.

Tangan kananku memijat pelipis yang terasa pusing. Sudah sekitar dua puluh menit mobil kami berjalan tanpa tahu tujuan. Aku tak menemukan opsi tempat mana yang cocok untuk kami menyelesaikan masalah rumit ini. Seolah tak mau membuat moodku hancur, sejak masuk mobil Mas Fatih tak banyak bicara. Dia hanya mengajukan satu pilihan tempat yang langsung kutolak.

Tiba-tiba mobil berhenti. Satu opsi muncul dibenakku.

"Kita bicara di mobil saja," ucapku tak ingin dibantah.

Mas Fatih mengangguk. Segera berpindah ke kursi belakang. Aku tak menolak. Hatiku mengatakan agar jangan egois, sejak tadi Mas Fatih sudah banyak bersabar menghadapiku.

Satu menit terlewati tanpa ada yang berani memulai percakapan. Bohong kalau aku tidak dilanda cemas. Satu persatu kemungkinan buruk bermunculan tanpa bisa dicegah.

"Apa pun yang terjadi, Mas tetap tidak akan menceraikan adik."

Kepalaku terangkat. Menoleh ke asal suara. "Membiarkan Syifa masuk dalam keluarga kecil kita, itu sama saja dengan Mas membunuh Shanum secara perlahan."

"Berapa kali harus Shanum bilang? Shanum enggak pernah siap dan enggak akan pernah mau jika harus dimadu. Apa itu kurang jelas?"

Mas Fatih mengalihkan pandangan dariku. Kebiasaan yang sering dia lakukan saat berusaha mengontrol emosi yang dirasa.

"Atau sebenarnya Mas memang suka melihat Shanum hidup enggak bahagia?"

Pandangan kami bertemu. "Adik adalah sumber kebahagiaan mas. Mana mungkin mas suka melihat adik tidak bahagia?" ucapnya sungguh-sungguh. Aku tak menemukan keraguan dari sorot matanya yang berkaca-kaca.

"Bersama di dunia."

"Dan di surga," lanjutku.

Air mataku mulai berlomba-lomba untuk turun. Aku menutup wajah dengan telapak tangan. Kalimat itu selalu kami ucapkan bersama-sama sebagai penyemangat.

"Mengangislah, jangan ditahan."

Akhirnya, aku benar-benar menangis. Tak lama terasa usapan lembut dikepala. Tetapi tidak bertahan lama karena aku segera tersadar.

"Kenapa mas harus menikahi perempuan itu?"

"Mas tidak bisa membiarkan Syifa seorang diri membesarkan buah hatinya."

Pasukan oksigen terasa kian menipis memenuhi paru-paruku. Kenyataan ini begitu menyesakan. "Sesederhana itu alasannya?"

Mas Fatih menggeleng. "Itu enggak sederhana dik."

"Maksud Mas?"

"Mas tidak mau anak itu bernasib sama seperti Mas dan Ghazi yang hidup tanpa sosok ayah." Mas Fatih menunduk. Luka lama itu ternyata masih menghantuinya.

Ya, ayah Mas Fatih pergi begitu saja di saat keluarga mereka berada di titik terberatnya. Sampai sekarang, lelaki itu tak pernah sekalipun menunjukkan batang hidungnya. Mas Fatih hanya bilang, ayah tergoda wanita lain hingga akhirnya lupa diri. Ternyata memang betul, bagi Mas Fatih masalah ini tidak sesederhana itu.

Aku menghela napas. Memelankan intonasi suara, "tapi bukan berarti Mas yang harus menikahi Syifa. Kita bisa membantu merawat anak itu tanpa harus membawanya dalam keluarga kecil kita mas."

Mas Fatih menantapku sejenak sebelum menghela napas berat. Lalu mengalihkan pandangan ke depan.

Dengan terus menahan diri agar tidak terpancing emosi, aku mencoba mencarikan opsi lain. "Harusnya menang Tante Khadijah menikah lagi agar Syifa memiliki ayah. Atau Mas jodohkan saja Syifa dengan teman Mas yang belum beristri."

"Dik, Tante Khadijah sudah tidak ada."

Aku menggeleng tak percaya. Selama tinggal bertetangga dengan Tante Khadijah, beliau adalah sosok yang baik. Walau dalam beberapa keadaan ucapannya yang apa adanya secara tidak sadar membuatku sedikit tertampar, tatapi tak berlangsung lama. Seperti saat obrolan soal anak. Ucapannya memang terdengar biasa, hanya saja momennya kurang pas hingga membuatku tak enak hati. Selebihnya beliau selalu memperlakukanku dengan baik.

"Enggak mungkin."

"Kemarin sore beliau terpeleset di kamar mandi. Kepala beliau cukup keras terbentur tembok hingga kehilangan banyak darah. Syifa sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi selain kita."

"Mas jangan becanda!"

"Mas enggak becanda. Mas menemui adik karena ingin memberitahu kabar itu sekaligus menyelesaikan masalah kita."

"Dik, Radit sudah menitipkan Syifa pada Mas. Mas masih ingat betul sebelum Radit menghembuskan napas terakhir, dia meminta Mas untuk menikahi Syifa. Pikiran Mas buntu dik, mas tidak bisa memilih di antara kalian berdua."

"Itu namanya Mas egois. Mas mengira dengan menikahi Syifa dan mempertahankan Shanum semuanya akan baik-baik saja? No, mas. Enggak segampang itu. Tanggung jawab Mas juga semakin besar dengan memiliki dua istri. Ah, Shanum lupa. Mas lebih paham soal itu."

Aku tersenyum getir. Menghapus air mata. "Permintaan Shanum yang tidak ingin dimadu terlalu berat ya Mas? Harusnya memang sejak awal kita tidak pernah bertemu. Apalagi, sampai menikah. Shanum lebih baik hidup sendiri daripada harus dimadu."

Mas Fatih menyela, "Mas yang salah. Ini salah mas."

Ternyata, kami tak satu tujuan. Aku tetap dengan pilihanku. Sama halnya Mas Fatih.

"Iya, memang ini semua salah mas." Aku menghujani Mas Fatih dengan tatapan kecewa.

"Maaf mas, Shanum enggak bisa bertahan. Terima kasih untuk semuanya," ucapku lirih.

Aku ingin pergi sejauh-jauhnya dari Mas Fatih. Tergesa aku membuka pintu. Menghiraukan cegahan Mas Fatih.

"Adik awas!"

Aku menoleh.

Bruk!

Apa yang terjadi begitu cepat. Dengan kepala yang terasa berat akibat terbentur trotoar, aku bangun dan berbalik badan. Seketika tubuhku melemas. Aku berharap ini hanya mimpi. Pemandangan yang pertama kali kulihat, Mas Fatih terkapar dengan darah yang bercucuran dari kepalanya.

"Mas Fatih!" jeritku.

💉💉💉

To be continued!

Cinta ShanumUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum