Enam Belas

333 19 3
                                    

Melihat dan menggendong bayi perempuan yang tak berdosa ini, membuatku malu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Melihat dan menggendong bayi perempuan yang tak berdosa ini, membuatku malu. Dia tidak salah apa pun. Dia pantas untuk disayangi dan dilindungi. Sekarang aku paham, tidak ada seorang ibu pun yang menginginkan anaknya tumbuh tanpa kasih sayang yang utuh.

"Kamu sudah pantas sekali menggendong bayi." Bunda muncul dengan membawa segelas susu.

"Jangan sampai lupa lagi buat minum susu," sambungnya sambil meletakkan gelas itu di meja. Tersenyum tulus. "Ingat, sekarang Shanum enggak sendiri. Ada yang harus dijaga. Satu lagi, obat dari dokter jangan lupa diminum."

"Terima kasih bunda." Aku semakin merasa tak enak. Tak ada harga yang pantas untuk membalas setiap kebaikan bunda selain surga untuknya.

"Sama-sama." Bunda mengelus pundakku sebelum tangannya beralih pada kepala bayi yang tertidur di gendonganku. Mengelusnya. "Namanya Zahra Afiqa yang berati anak perempuan yang bersinar dan cerdas. Syifa memanggilnya Ara. Shanum belum tahu kan namanya?"

Anggukan kujadikan sebagai pembuka jawaban. "Ara, panggilan yang bangus."

Bayi ini sangat menggemaskan dan cantik. Hidungnya mancung seperti Syifa. Sementara sorot mata dan alis tebalnya persis seperti Dokter Radit.

"Lho, bunda. Ara kok?" Syifa datang tanpa kuduga. Dia menatapku tak suka. Bahkan, tak berkata apa-apa lagi langsung mengambil alih Ara. Sampai bayi itu terbangun. Menangis.

"Tadi bunda habis dari dapur, jadi bunda titipkan Ara ke Shanum. Ara nyaman, kok. Buktinya tadi dia langsung tidur." Bunda menengahi. Mengusir kecanggungan di antara kami.

Syifa tak menyahut. Hanya mengangguk. Menepuk-nepuk sayang anaknya. Menenangkan. Sorot matanya masih belum bersahabat. Menatapku waspada. Tadi, Syifa memang sempat menitipkan Ara pada bunda. Bunda yang melihatku melamun meski sedang menonton televisi, bertanya apakah aku sudah meminum susu? Saat kujawab dengan gelengan, alhasil bunda menitipkan Ara padaku.

Sampai saat ini, aku belum mengerti kenapa Syifa tidak memilih mempekerjakan seorang baby sitter untuk membantunya merawat Ara? Bukankah itu akan memudahkan dia?

"Sayang, minum dulu susunya," pinta bunda mengalihkan perhatianku. Aku meminumnya sampai tak tersisa.

"Alhamdulillah." Bunda menantapku lega.

Sejak bangun tidur, perutku memang terasa tidak enak. Puncaknya saat akan menyuapi bubur untuk Mas Fatih, perutku bergejolak hebat ingin mengeluarkan isinya. Mas Fatih menantap khawatir, mengelap peluh di dahiku. Aku mencoba meyakinkan dengan mengatakan baik-baik saja. Mas Fatih tahu, aku paling anti untuk diajak berobat kecuali sangat mendesak. Akhirnya, dia pasrah.

"Lagi pula suamiku dokter, aku tidak perlu dokter-dokter lain," kataku lagi mencoba menenangkan. Wajahnya terlihat sedikit lebih tenang.

"Shanum mau makan apa biar bunda buatkan?" Dua tangannya menggenggam tangan kananku. "Dari pagi belum makan, kan?"

Cinta ShanumWhere stories live. Discover now