Empat Belas

214 12 2
                                    

Ucapan Ghazi tadi pagi membuatku semakin yakin pada keputusan yang akan kuambil

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ucapan Ghazi tadi pagi membuatku semakin yakin pada keputusan yang akan kuambil. Memilih bertahan, bukan berarti menyerah dengan keadaan.

"Adik melamun lagi?"

Aku gelagapan. Kembali menyuapkan buah apel yang sudah dipotong-potong kecil pada Mas Fatih. "Eh, enggak kok mas."

Sejak kucegah mama dan umi mengatakan soal kehamilanku, suasana di ruangan ini berubah menjadi tegang dan mungkin terlihat aneh bagi Mas Fatih.

Aku memang memutuskan untuk tidak dulu memberitahu soal kehamilanku. Keputusanku sudah bulat meski awalnya sempat ditentang keras. Sampai-sampai mama mengajakku berbicara empat mata. Aku sudah memikirkannya dengan baik. Aku ingin Mas Fatih benar-benar pulih lebih dulu. Barulah aku akan memberitahu.

"Adik tidak senang melihat mas sadar?"

"Mas kok ngomongnya gitu. Mana mungkin Shanum enggak senang lihat mas sehat," ucapku sungguh-sungguh.

Kata dokter, kondisi Mas Fatih sudah mulai stabil. Aku bersyukur Mas Fatih tidak kehilangan ingatannya. Meski sebelumnya dokter sempat mengatakan kemungkinan buruk yang terjadi bisa saja Mas Fatih akan kehilangan ingatannya.

"Ada yang adik sembunyikan dari Mas?" Mas Fatih yang belum percaya dengan penjelasanku, bergantian memandangi bunda, mama, dan Ghazi. Seolah meminta penjelasan.

"Semuanya baik-baik saja. Jangan berpikir yang macam-macam. Fokus saja pada pemulihan kamu." Bunda mendekat. Berusaha menyakinkan anak sulungnya.

Mas Fatih terlihat berpikir.

"Mau lagi?" tawarku. Tepatnya mengalihkan.

Senyuman terbit di wajah Mas Fatih. "Sudah, ya. Mas kenyang."

"Siap Mas Dokter," jawabku yang mengundang tawa renyah Mas Fatih yang baru kudengar kembali.

"Dunia terasa milik berdua. Yang lain cuma pajangan aja kayaknya," celetuk bunda.

Aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Lupa jika kami tidak hanya berdua. Pandanganku menangkap ekspresi mama yang hanya mengulas senyum. Sejak tadi obrolan empat mata tadi, beliau lebih banyak diam. Aku menghela napas. Merasa tidak enak.

"Dik, terima kasih sudah bertahan dan selalu berada di sisi mas. Maafkan mas sering membuat adik kecewa."

Fokusku sepenuhnya kembali. Perkataan Mas Fatih membuat rasa bersalah yang sempat terkesampingkan, kian memuncak. "Mas Fatih enggak salah. Harusnya aku yang minta maaf. Maaf sudah membuat mas seperti ini. Maafkan semua kesalahan Shanum ya mas. Selama ini Shanum belum bisa menjadi istri yang baik buat mas."

Mas Fatih menatapku lekat-lekat. Wajahnya mengulas senyum hangat. "Di mata mas, adik selalu berusaha memberikan yang terbaik. Itu sudah lebih dari cukup. Bukankah kita sudah berjanji untuk bersama-sama terus berproses menjadi lebih baik?"

Cinta ShanumWhere stories live. Discover now