Sepuluh

233 12 0
                                    

Keputusanku sudah bulat

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Keputusanku sudah bulat. Aku ingin berpisah dari Mas Fatih.

"Sayang, kamu yakin dengan keputusan itu?"

Aku mengangguk. Sudah tiga kali mama bertanya hal yang sama. Saat aku tiba, ternyata mama sudah ada di rumah. Aku yang datang dengan kondisi kacau, akhirnya menceritakan semuanya.

"Kamu enggak mau bicarakan baik-baik lagi sama Fatih? Siapa tahu tadi sore itu dia enggak langsung kejar kamu karena enggak mau memperburuk keadaan. Saat sedang bertengkar, memang harus ada salah satu yang mengalah agar permasalahan tidak melebar kemana-mana."

Aku menghela napas. Mengeratkan dekapan pada bantal kecil yang sejak tadi kupeluk.

"Papa kamu juga kalau lagi cekcok sama mama suka diam saja. Bahkan, enggak nengok sama sekali ke mama. Terus tiba-tiba pergi untuk menenangkan diri. Setelah merasa tenang dan situasi dirasa baik, papa menemui mama."

Aku menoleh. Mama tersenyum hangat. Membawaku bersandar pada pundaknya. Ruang tamu menjadi hening sesaat. Terlebih papa belum datang. Hanya ada Mbak Widia yang muncul membawakan jus jeruk untukku atas permintaan mama yang langsung kuminum sampai tak tersisa.

"Oh, iya. Mama perhatikan, marahnya Fatih hampir sama kayak papa. Bedanya, Fatih enggak sampai memalingkan wajah dari kamu."

Pandanganku sepenuhnya fokus ke arah mama. "Kok mama tahu?"

Mama tersenyum. "Gini-gini, mama enggak mungkin asal sembarangan saja menerima lelaki yang mau menjadi imam putri kecil mama. Saat kamu bilang akan ada yang datang ke rumah, mama dan papa langsung cari informasi soal Fatih. Setelah tahu tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari Fatih, mama sama papa jadi lega."

"Agar saat jauh dari kami, kamu sudah ada yang menjaga," lanjut mama dengan kilatan cahaya di mata.

"Terus kapan mama tahu kalau Mas Fatih lagi marah sama Shanum?" tanyaku penasaran. Pasalnya, Mas Fatih sangat jarang bisa ikut denganku untuk menginap di sini.

"Selain tahu informasi dari orang-orang suruhan papa yang mengatakan jika sedang marah, Fatih pasti memilih diam. Pada orang tua atau adiknya dia enggak pernah main tangan dan berkata-kata kasar. Mama juga menyaksikan sendiri. Waktu itu, lho, saat kalian selesai akad. Fatih, kan, cuma tiga hari izinnya. Tapi, kamu ngebet banget pengen tetap di sini selama seminggu. Dari situ mama perhatikan Fatih lebih banyak diam. Sementara kamu nyerocos saja. Padahal, ada papa dan mama. Sampai akhirnya tiba-tiba kamu manut sorenya mau ikut pulang."

"Pasti kalian ngobrol lagi, kan?"

Jika ingat itu aku jadi malu. Benar kata Syifa, aku memang kekanak-kanakan. "Iya, ma. Setelah Mas Fatih menjelaskan, Shanum akhirnya mengerti."

"Nah, kan?" Beliau mengelus sayang pundakku. "Mama enggak pernah lupa, lho, bilang ke kamu agar tidak mengambil keputusan saat sedang emosi."

"Kamu harus ingat sayang, Fatih itu manusia biasa seperti kita. Dia juga bisa khilaf dan lupa."

Cinta ShanumWhere stories live. Discover now