Lima Belas

228 13 1
                                    

Tangisan bayi menyambut kedatangan kami

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tangisan bayi menyambut kedatangan kami. Membuat hatiku tak karuan. Rasa sakitnya bertambah-tambah saat mendapati bunda menggendong bayi itu. Mencoba menenangkan.

Apa bunda menerima Syifa sebagai calon menantunya? Hatiku bertanya-tanya.

"Sayang bawa Fatih ke kamar, ya. Biar langsung istirahat," pinta bunda.

"Iya bunda." Langkahku terhenti saat seseorang tiba-tiba menghalangi.

"Boleh aku bantu bawa tasnya?" Syifa tersenyum.

Kubalas senyumannya. Setelah semua yang terjadi. Bolehkah aku marah di depannya? Mengatakan agar berhenti membuatku merasa seolah-olah aku tak pantas untuk Mas Fatih.

"Aku bisa, kok. Tasnya juga kecil." Aku mengangkat tas yang berisi beberapa pakaianku dan Mas Fatih.

"Baiklah," jawabnya. Menggeser posisi. Memberi jalan agar kami lewat.

Tepat ketika dua pijakan melewati Syifa, dengan lirih dia berucap.

"Syafakallah, Kak."

Sayangnya tak mendapatkan respon apa pun dari Mas Fatih. Malah Mas Fatih mengambil alih tas yang sejak tadi kubawa.

"Yang sakit kepala mas, bukan tangan. Biar mas yang bawa." Kami kembali melanjutkan langkah. Seketika suasana terasa ganjil.

"Mas mau adik ambilkan minum?" tawarku memecah keheningan.

"Boleh kalau tidak merepotkan," balasnya diakhiri senyuman.

Meski tanpa asisten rumah tangga yang membantu merapikan, kamar Mas Fatih selalu rapi. Tetapi kali ini sepertinya bunda yang merapikan dan menyediakan air minum agar tidak perlu repot-repot ke bawah. Hari ini untuk pertama kalinya lagi aku menginjakkan kaki di kamar yang sudah lama tak kutempati. Aku merindukan suasana saat kami mengaji dan membaca buku bersama. Atau saat kami sama-sama tertidur ketika membaca buku dengan posisi masih di atas tikar.

"Astaghfirallah." Aku terbangun dari lamunan bersamaan dengan lepasnya gelas dari genggaman.

"Adik tidak apa-apa?"

Aku menggeleng. Mas Fatih bergegas memeriksa tanganku. Lalu, kaki.

"Syukurlah." Helaan napas lega mengurangi rasa khawatir yang terpampang jelas di wajahnya.

"Adik duduk saja. Biar mas yang bersihkan." Mas Fatih langsung berlalu. Tak memberiku waktu untuk menolak.

Tak membutuhkan waktu lama, Mas Fatih kembali dengan membawa sapu, serokan, dan botol air mineral yang sudah kosong.

"Adik cukup duduk manis," cegahnya saat aku berdiri. Lantas aku kembali duduk, memperhatikan.

Aku tak bisa untuk tidak tersenyum melihat Mas Fatih memasukkan pecahan-pecahan kaca itu pada botol yang dibelah dua. Setelah selesai dan memastikan tidak ada serpihan yang tersisa, Mas Fatih menyatukan botol itu untuk kemudian diberikan selotip pada bagian yang sempat dipotong. Lalu, menuliskan dua kata, gelas pecah.

Cinta ShanumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang