12. SACI - Sambutan Keraton Surakarta

207 38 28
                                    

Tolong jangan lupa tekan VOTE & RAMAIKAN LAPAK DENGAN MENGIRIM KOMENTAR TERBAIK KALIAN ALIAS YA ALLAH SAKIT KEPALAKU NENGOK KOLOM KOMENTAR SEPI KAYAK KUBURAN KERAMAT. Jujurly sudah diambang muak sama pertumbuhan pembaca cerita ini yang tambah episode bukannya rame tapi makin sepi🥲☝.

°°°

Menghabiskan waktu selama empat jam perjalanan, akhirnya Alaska beserta rombongan sampai juga di stasiun Solobalapan. Stasiun tertua yang sudah berdiri sejak tahun 1871 itu dinamakan Solobalapan karena berada dekat sekali dengan area pacuan kuda. Sebelum sampai di stasiun, Alaska sempat melihat area pacuan kuda tersebut. Pada masanya tempat itu sudah tak beroperasi.

Alaska turun seusai semua para wanita ia persilahkan lebih dulu keluar. Ia keluar sebelum Papanya dan setelah Cokroaminoto. Baru saja turun dari kereta, tiga orang laki-laki menghampiti mereka. Ketiganya serentak tersenyum ramah dan salah seorang menyapa.

"Selamat siang, Meneer Hans, Tuan Cokro."

"Siapa?"

Alaska mengamati lekat ketiga orang itu. Pakaian mereka serupa. Mengenakan baju hitam dengan blangkon di kepala selayaknya Cokroaminoto sekarang dan pria Jawa lainnya. Perbedaannya hanya pada motif. Sorot mata Alaska kemudian beralih ke arah dada. Dua di antara tiga orang itu mengenakan bros bewarna emas yang berlambangkan bulan, bintang, matahari dan bumi, sementara yang satunya tidak. Atribut lain yang tak luput dari perhatian Alaska adalah sebuah selempang kecil yang mengalung di leher mereka. Selempang itu bewarna dominan kuning cerah dengan pinggiran bewarna merah. Di ujung selempang itu menempel tiga pentol kecil kerincingan untuk masing-masing sisi dan di ujungnya terjurai rumbai-rumbai.

"Kami utusan Sunan Pakubuwono diperintahkan untuk menjemput Tuan sekalian." jawab pria yang sedang Alaska amati. Di sebelahnya, Cokroaminoto berceletuk.

"Ah, Abdi Dalem Keraton Kasusunan Surakarta?"

"Tuan kenal?" tanya Alaska langsung. Alaska terkejut Cokroaminoto tahu asal muasal orang-orang ini.

Kepala Cokroaminoto mengangguk. "Mereka adalah utusan Sunan Pakubuwono sepuluh, Tuan. Raja yang saat ini berkuasa di Keraton Surakarta. Mereka datang menjemput kita."

"Saya mengerti, tapi apakah mereka bisa dipercaya? Maksud saya, bagaimana Tuan tahu kalau mereka benar-benar utusan--- siapa tadi? Si Sunan-sunan Surakarta? Bisa jadi mereka hanya mengaku-ngaku untuk menjebak kita."

Seluruh kecurigaan yang Alaska muntahkan blak-blakan membuat semua orang tercengang. Langsung di depan orangnya Alaska terang-terangan menyatakan kecurigaan. Beberapa detik sempat tercengang juga, tak lama bibir Cokroaminoto mengembangkan senyum tipis.

"Tuan, kebanyakan orang memang sulit untuk dipercaya dan kita pun sejak kecil sudah diwanti-wanti orangtua untuk tidak sembarangan percaya terhadap orang lain. Saya maklum. Terlebih Tuan dibesarkan oleh bangsa yang sejak dulu sudah biasa mempermainkan kepercayaan orang."

Deg!

Alaska tersentak. Untaian kata-kata Cokroaminoto sempat menyentil lerung hatinya. Alaska rasa Mamanya pun merasakan hal demikian. Pasalnya saat Alaska lirik, mata Mamanya sempat membulat.

"... Tapi, Anda bisa menaruh rasa percaya itu kepada bangsa kami."

"Hanya untuk saat ini, tidak untuk kedepan."

Alaska tersenyum paksa. Ia cukup kecewa terhadap alasan Cokroaminoto yang amat sederhana. Andai Cokroaminoto tahu bahwa kata-katanya itu tidak semudah menaruh kepercayaan kepada bangsa ini kelak. Terlebih pada zamannya yang di mana para penjahat negeri berkeliaran tanpa diadili. Tikus-tikus berdasi mengisi kursi-kursi gedung yang seharusnya mewakili rakyat, tapi justru mematikan kepercayaan rakyat itu sendiri.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 13 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Saksi CintaWhere stories live. Discover now