09.

12 0 0
                                    


Tiba-tiba saja lampu padam dan dengan cepat ketujuh cowok itu merapatkan diri satu sama lain lebih tepatnya memeluk satu sama lain.

"Kalian ngapain di sini?" tanya seseorang berhasil membuat semua cowok itu berteriak kaget karena gadis itu menyoroti wajahnya dari bawah menggunakan senter dari hpnya.

"Anjing, anjing....gue mules lagi," ucap Hanung yang sudah memegangi perutnya sendiri.

"Jiabang bayik," tambah Tian merinding.

"Jantung gue mau pindah bentar ke otak," timpal Adit yang panik sendiri, sedangkan Anugerah dan Tian sudah berpelukan.

"Babi, bisa ga sih lampunya diturunin dulu," ucap Reza yang ikut kaget.

"Lo kok bisa di sini?" tanya Hardin yang memegangi kaki Adit, "Kalian juga kenapa ke sini?" tanyanya yang seakan tidak peduli dengan keadaan cowok di depannya.

"Bukan urusan lo." Jawabnya cepat. "Lo ga mungkin ke sini sendirian cari hal yang ga penting," ucap Marsi menatap dalam gadis di depannya.

"Huh....emang apa urusannya sama kalian?" tanyanya, "Pandora, lo juga cari buku pandora, kan?" tanya Reza membuat gadis itu sedikit terperanjat.

"Hahaha...bener ya, berarti bener waktu itu lo nguping pembicaraaan gue sama Hanung waktu itu," tambah Reza semakin membuat gadis itu tidak berkutik.

"Gue pengen cari tahu tentang sekolah sialan ini, makanya gue ke sini. Sorry kalo kesannya gue ga sopan dengerin percakapan kalian," ucapnya merasa bersalah.

"Lo udah dapet bukunya?" tanya Marsi dan gadis itu menggelengkan kepala menandakan belum menemukan buku itu.

"Ayo kita pencar aja biar cepet ketemu bukunya sekarang," perintah Hardin dan disetujui oleh semuanya.

Hanung dan Anugerah bersama gadis itu menyusuri buku di area B yang cukup berdebu mereka bertiga mengecek semua buku yang cukup berdebu di sana.

"Btw, kok lo berani banget sih ke sini sendirian?" tanya Anugerah disela-sela kegiatan. "Berani, kalo ada sesuatu tinggal gue tembak aja...."

"Berarti lo lewat pintu belakang ya?" gadis itu mengangguk memberikan jawaban.

"Sumpah? Lewat sungai kan lebih serem..." Hanung tidak bisa membayangkan sungai belakang kelas 12 yang pernah dijadikan tempat untuk bunuh diri.

"Demi...demi semua ini gue bakal lakuin apapun," ucapnya membuat Hanung dan Anugerah mengernyit tidak mengerti.

"Lo udah tahu, kan akibatnya kalo cari ini semua?" tanya Hanung dengan serius. "Udah, gue udah tahu semua tentang sekolah ini."

"Ada gila-gilanya juga lo," tambah Hanung sambil memegangi perutnya untuk kesekian kali.

Reza mengejak mereka berkumpul terlihat wajah-wajah frustasi di antara mereka yang tidak menemukan buku itu sama sekali selama kurang lebih satu setengah jam. Pencarian mereka tidak menemukan hasil sampai akhirnya sorot lampu dari jendela membuat mereka kaku.

"Gawat, kita harus pergi dari sini sekarang," ucap Hardin setelah tahu bahwa beberapa orang berjalan ke arah perpustakaan lama.

"Kenapa?" tanya Reza, "Pak Romli anjir, bawa beberapa orang ke sini."

"Anjir, kita keluarnya gimana babi?" tanya Hanung sambil memegangi batu dengan kencang.

"Ikut gue, gue tahu jalannya," ucap gadis itu memandu yang lainnya agar cepat mengikuti jalannya.

Pak Romli dengan cepat berlari ke arah perpustakaan lama bersama beberapa orang mengejar delapan anak itu.

"Kejar mereka jangan nyampe hilang!"

"Aduh, gue kebelet lagi sialan batu gue ketinggalan!"

"Hanung anjing, ini cepet bawa!" Adit menyerahkan batu yang dia ambil sekenanya.

"Dingin banget anjir airnya," keluh Hardin yang kini melewati sungai dan sempat terjatuh.

"Bangsat, diketawain kunti anjir!" teriak Anugerah yang baru saja bertatapan dengan hantu yang terkenal di sekolah itu.

"Ayo cepet larinya!"

"Jangan lari kalian!"

"Yod, lo gapapa kan?" tanya Marsi karena gadis itu sempat terjatuh tanpa basa basi Marsi menggandeng gadis itu agar tidak tertangkap oleh Pak Romli. Mereka berlari menjauh dari area sekolah sebisa mungkin agar tidak menimbulkan masalah.

Reza mengamati temannya satu persatu, mereka semua basah terkena air sungai terutama Hanung dengan siku lecet di tangan kanannya. Tidak hanya itu kali ini semuanya gagal, pencarian mereka tentang buku pandora tidak membuahkan hasil sama sekali.

"Gagal kita gagal," ucap Reza yang terlihat sangat frustasi sambil menendangi angin.

"Kenapa susah banget sih?" tanya Reza, "Gue takutnya kertas kemarin cuma main-main aja, Za," ucap Anugerah yang masih menganggap peninggalan kertas yang mereka baca hanyalah hoax.

"Terus kali ini kita mau ngapain?" tanya Hanung sambil melihat luka di sikunya yang cukup parah.

"Satu-satunya cara kita harus ke ruang kepsek," ucap Marsi sambil menyerahkan jaketnya ke tubuh Ayodhya.

"Thanks," ucap Ayodhya lirih. "Tapi kita ga ada akses buat masuk ke sana tahu sendiri ada id card kalo mau masuk ke ruang kepsek," ucap Adit yang mengingatkan bahwa yang memiliki akses untuk masuk ke ruang kepsek biasanya anak OSIS.

"Kalo gitu kita pinjem aja id card dari Dhiki," usul Tian dengan mudah. "Tian tolong dong dipikir lagi, lo tahu sendiri Dhiki orangnya kayak gimana dari kita semua pernah bikin masalah sama tuh ketua osis," ucap Adit yang mampu mengingatkan semua orang mereka bertujuh adalah buronan dari OSIS karena dulu pernah ikut tawuran dengan sekolah lain dan rentetan masalah yang lainnya.

"Sebenernya gampang asal kita ada id card dari si ketos gadungan itu, nanti serahin ke gue buat bikin duplikatnya," timpal Hardin sambil menaik turunkan alisnya.

"Oke, tinggal gimana caranya buat dapet id cardnya...."

"Gue bisa," ucap Ayodhya yang angkat bicara setelah dari tadi menyimak orang-orang di sekelilingnya berdiskusi.

"Maksudnya gimana, Yo?" tanya Reza penasaran. "Gue anak baru di sekolah ini gue bakal tanya-tanya tentang sekolah ini atau semacam school tur," jawab Ayodhya yang memberikan ide berlian itu.

"Senang berbisnis dengan anda," ucap Hanung sambil memberikan tangan dan Ayodhya menerimanya. "Dia pikir lagi transaksi ganja kali ya," timpal Anugerah dengan wajah yang terheran-heran.

"Sekarang lo jadi bagian dari kita," tambah Hardin sambil tersenyum manis.

Tacenda 24Where stories live. Discover now