03.

27 1 0
                                    

"Tinggal 2 mingguan lagi buat nyampe tanggal itu, kita udah ga tau lagi korbannya bisa cewek atau cowok sekarang," ucap Reza sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa.

"Kita ga tau harus ngapain sekarang, rasanya kayak nungguin giliran bom meledak tiap bulan," tambah Tian yang terlihat frustasi karena jujur Tian pernah menjadi orang pertama yang melihat salah satu siswi bunuh diri.

"Gue ga mau lihat atau denger berita kayak gini lagi," ucap Marsi setelah diam beberapa lama. Semuanya seperti setuju dengannya karena bagaimana pun rasanya seperti trauma setiap tanggal 24 mendengar berita duka cita.

"Anehnya kenapa berita ini ga pernah ke ekspos ke berita nasional minimal rame di sosmed gitu," ucap Hardin menambah rasa janggal. "Lo liat sendiri kan berita Anin, dia cewek berprestasi suka menang olimpiade dan penyanyi, tapi kenapa kayak hilang gitu aja. Seakan-akan kita disuruh buat menerima semua hal yang terjadi tanpa harus tahu faktanya," tambah Hardin.

"Tapi gue masih aneh sama isi kertas dari Dion, emangnya Dion sakit ya kok bilang waktunya cuma bentar lagi?" Pertanyaan Hardin seperti menyadarkan Marsino dan Hanung.

"Dion ga ada pernah cerita kalo dia sakit ke gue," jawab Marsi dan disetujui juga oleh Hanung. Tian mengacak kasar wajahnya jujur saja dia diam-diam masih trauma sejak kejadian itu.

Pikiran Reza masih mengawang bagaimana bisa di kelasnya kehilangan dua orang sekaligus bahkan rasanya sangat janggal sekali dua orang temannya termasuk terkenal, kenapa berita meninggalnya mereka berdua tidak seheboh waktu mereka memenangkan kejuaran. Dan lagi temannya Adit dan Hardin tidak diizinkan untuk mengundurkan diri dari sekolah. Rasanya semua siswa di sini seperti menunggu berita kematian secara bergantian. Sekolahnya menyimpan misteri yang menurutnya tidak masuk akal, orang tua korban juga hanya bungkam saja.

"Reza...Reza," panggil Hardin yang akhirnya menyadarkan pikirannya sejenak dari kemelut di otaknya.

"Apa, Har?" tanya ketua kelas itu, "gue mau cabut, beli cilok nih lo mau ikut ga?" tanya Hardin yang duduk di sampingnya sambil berbisik.

"Nanti Adit nyusul," tambah Hardin dengan senyuman penuh arti, sebelum Reza mengiyakan Hardin sudah berdiri menginterupsi kegiatan dari Pak Anwar guru fisika di jam itu.

"Aduh...aduh...perut gue ga enak, Reza anterin gue dong ke UKS. Kayaknya gue keracunan nih." Reza hanya menghela napas panjang dengan tingkah temannya itu dan tentu saja dia dengan sigap harus mau mengantar Hardin ke UKS.

Kini mereka berdua sudah duduk di bawah pohon yang mana sudah memesan tiga porsi cilok untuk Adit juga. Mas Amri memberikan mangkuk kecil ke kedua laki-laki itu dengan wajah senang.

"Lo kepikiran banget ya, Rez?" tanya Hardin sambil menggambarkan wajah Reza yang terlihat berpikir keras.

"Gue ga tau harus gimana, Har kayak capek banget ga sih tiap bulan harus kayak gini. Situasinya makin ga kekontrol sama sekali, gue harus tenangin anak-anak kelas. Padahal gue tahu ga bisa membantu sama sekali. Sekarang di kelas kita tinggal 25 siswa dari 32," ucap Reza yang mencoba membagi isi pikirannya.

"Makasih Mas, tapi ya Rez lo ga tanya kemarin sama keluargnya Dion gitu tentang hal ini atau mereka ngomong sesuatu?" tanya Adit yang baru saja ikut bergabung untuk duduk bersama kedua temannya.

"Mereka kayak enggan buat ngomong Dit, Marsi sama Hanung aja berusaha buat tanya, tapi mereka kayak menghindar. Dan kalian tahu kemarin ini keluarga mereka pindah ke luar negeri, keluarga Anin juga pindah ke Bandung." Kedua teman Reza yang mendengarnya melirik satu sama lain tidak habis pikir.

"Kalian bolos lagi ya?" tanya Mas Amri yang kini ikut duduk bersama mereka dan sudah biasa menerima anak sekolah Dharma Widya yang membolos saat jam pelajaran.

"Biasalah Mas, fisika bikin pusing dikit-dikit ngitung kalo yang diitung duit aja Hardin mau," jawab Hardin setelah menelan cilok di mulutnya.

"Bocah aneh, namanya juga fisika pasti ada hitungan. Terus nih bocah kenapa dah mukanya suntuk banget?" tanya Mas Amri yang menunjuk ke Reza dan Reza menggeleng pelan.

"Berita itu ya pasti, Anin sama Dion. Saya juga heran sama sekolah kalian padahal dulu juga udah berhenti kenapa sekarang muncul lagi."

"Maksudnya muncul lagi?" tanya seseorang yang baru muncul tiba-tiba mengagetkan mereka berempat. Di sana kini ada Hanung, Tian, Anugerah, dan Marsi yang baru saja tiba dengan pakaian olah raga.

"Buset dah bocah kaget saya tiba-tiba kalian dateng," ucap Mas Amri dengan wajah terkejutnya sambil memegangi dadanya.

"Lanjutin mas keburu kepo nih," pinta Hardin. "Sini-sini deketan kalian...beli cilok saya dulu baru saya ceritain," ucap Mas Amri mendapat sorakan dari 7 laki-laki itu dan dengan terpaksa mereka membelinya.

"Jadi tuh dulu seinget saya pertama kali jualan di daerah sini, saya denger berita kayak yang kalian alami sekarang. Seinget saya ga separah sekarang sih cuma ya dulu itu ada satu siswa cowok yang pinter banget bahkan primadona di sekolah ini, dia sering tuh wira wiri di televisi. Dia juga dilirik berbagai universitas gitu, tapi karena suatu masalah saya juga kurang paham dia akhirnya ya itu kalian tahu lah ya. Dan herannya sebelum hari itu dia pergi, dia sempet mampir beli cilok tempat saya," jelas Mas Amri memulai cerita yang disimak serius oleh mereka bertujuh.

"Nah ini, jangan-jangan ada hubungannya sama Mas Amri. Waktu itu Anin juga beli cilok bareng saya, tiba-tiba ga ada. Hayoloh Mas Amri ga bener ya jualannya," ucap Anugerah menginterupsi cerita Mas Amri dan semuanya terhenti untuk melanjutkan memakan cilok buatan Mas Amri.

"Sialan ni bocah, gini ya Cenug kalo dibilang ga bener kenapa Cenug masih hidup sekarang padahal makannya bareng Anin waktu itu," bantah Mas Amri yang langsung menyadarkan mereka semua dan kembali melanjutkan makan cilok.

"Tapi ya tapi sebenarnya saya juga heran gitu dengan sekolah kalian, dulu ada satu kali sekolah kalian pesen dagangan saya. Waktu saya nganterin saya denger kalo ada korban berikutnya gitu, tapi saya ga tau ya ga paham juga orang cuma sekilas," tambah Mas Amri.

"Kalo gitu Mas Amri bilang kasus ini berhenti, kapan kasusnya berhenti dan kok bisa berhenti gitu aja?" tanya Marsi setelah lama terdiam dan mencoba sebisa mungkin menggali informasi sebanyak-banyaknya.

"2 tahun yang lalu sebelum kalian masuk ke sekolah ini berarti waktu kalian kelas 3 SMP. Kejadian ini pernah berhenti gitu aja karena ada sekumpulan siswa yang cari tahu tentang sekolah ini sebeneranya dan boom tiba-tiba berhenti. Tapi saya masih inget banget waktu itu ada satu cewek yang beli cilok saya dan bilang gini 'bang saya harap habis ini ga ada korban berikutnya kalo bisa sekolah ini ditutup aja. Cuma kalo kasusnya tiba-tiba muncul lagi saya udah ga tau lagi harus gimana nanti perjuangan saya dan temen-temen jadi sia-sia'. Terus saya tanya emangnya ada apa sama sekolah ini? Dia cuma jawab 'ada hal yang seharusnya ga keungkap bang, jadinya kayak gini. Kalo ada yang pengen tahu bakal kayak gini bang'. Gitu deh dia bilang," tambah Mas Amri panjang lebar menceritakan tentang sekolah mereka.

"Berarti kasus ini muncul lagi karena ada orang yang cari tahu tentang sekolah kita, setiap ada yang cari tahu bakal kayak gini," ucap Reza yang berhasil menyimpulkan cerita dari Mas Amri.

"Tunggu bentar, kejadian pertama yang kita alami itu waktu Oktober dan orang itu Cantika," tambah Hanung dengan wajah serius mendengar ucapan Hanung membuat Tian shock dan tidak nyaman, hingga tubuhnya bergetar.

"Ja-jadi Cantika cari tahu kasus yang dulu?" tanya Tian panik, "Se-seinget gue Cantika emang suka cerita hal-hal kayak gini," jawab Anugerah yang mengingat gadis cantik itu sering sekali membaca buku seperti itu membuat semua orang di sana bergedik ngeri.

"Semua ini berawal dari Cantika, kita yang harus ngalamin hal ini," tambah Hardin dengan ekspersi yang sulit untuk dijelaskan.

"Mas Amri masih inget kakak kelas cewek itu namanya siapa ga?" tanya Marsi berharap bahwa orang ini akan memberikan petunjuk.

"Siapa ya Van, saya lupa bentar saya inget-inget dulu...eum dia dulu anak IPA 1 kalo ga salah ya namanya Agustine Aruma apa Arumi gitu...."

Tacenda 24Where stories live. Discover now