07.

12 0 0
                                    


2 minggu setelah peristiwa meninggalnya Mas Amri rasanya di sekolah semakin was-was. Sekarang seperti tidak ada yang berani membahas tentang peristiwa 24, semakin dikuak tentu saja taruhannya diri sendiri. Marsi menatap Juliaa yang sedang sibuk memainkan ponselnya, dan beralih untuk keluar dari kelasnya untuk menenangkan diri.

"Hai," sapa seseorang pada Marsi yang sedang ingin merokok di rooftop, tapi terhenti. "Oh, hai ngapain lo di sini?" tanya Marsi dengan cepat menyembunyikan rokoknya.

"Kirain ga ada orang di sini, di kelas suasananya aneh jadi gue ke sini. Eum...Marsi kalo mau ngerokok gapapa kok," Jawab Ayodhya gadis berpita biru itu sambil tersenyum manis.

"Gue boleh tanya sesuatu ga? Tentang 24...." Marsi menghela napas panjang, akhirnya gadis itu benar-benar bertanya dan wajar saja jika dia bertanya tentang semua hal yang terjadi di sekolah ini.

"Gue yang tanya lebih dulu, lo sebenernya udah tahu tentang sekolah ini, kan? Kalo lo udah tahu kenapa nekat masuk sekolah ini?" pertanyaan dari Marsi berhasil membuat raut wajah gadis itu berubah.

"Lo tahu gue?" Ayodhya berbalik bertanya, "Tentu, gue tahu semua hal tentang anak kelas tanpa terkecuali bahkan gue tahu lo mau pindah ke sekolah ini," jawab Marsi cuek sambil menghembuskan asap rokok ke udara.

"Ck...lo yang nolak Anin kan?" Marsi menghela napas panjang mengingat hal itu hari di mana Anin mengungkapkan perasaanya, padahal gadis itu tahu Marsi tidak pernah menyukainya sama sekali.

"Iya, tapi bukan gue yang jadi alesan Anin buat bunuh diri. Dan lo kenapa bisa kenal Anin?" tanya Marsi yang baru sadar siapa yang mereka bicarakan.

"Bukan urusan lo, katanya lo tahu semuanya ternyata level lo masih payah banget hal kayak gini lo ga tahu dan satu hal lagi lo belum bisa ngungkapin penyebab dari 24 dengan kemampuan lo itu," ucap Ayodhya yang berlalu begitu saja.

"Sialan, kali ini gue ngelewatin apa lagi..."

Ponsel Marsi berdering menandakan notif dari seseorang dan dengan cepat mendatanginya.

"Mars sini deh, kayaknya kita dapet petunjuk sesuatu," ucap laki-laki itu sambil menujukkan sesuatu pada Marsi.

Buat siapa aja yang berhasil nemuin ini kalo nyampe kejadian 24 berulang lagi, tolong kalian cari buku yang tulisannya pandora. Kita berharap buku itu masih ada dan engga dihancurin, bukunya kita simpen di perpustakaan lama. Satu hal lagi jaga diri kalian, kita harap kalian engga nemuin kertas ini, tapi kalo sampe kalian baca ini cari buku pandora secepatnya.

24 Februari 2010

T

"Gimana, Mars pendapat lo gimana?" tanya Reza dengan serius. "Lo dapet ini dari mana?" tanya Marsi dengan temannya.

"Adit tadi nemuin ini waktu beberes ruang band dan ternyata ada kertas di piano," jawab Reza dan Marsi menganggukan kepala.

"Adit sama Hardin lagi manggil yang lain," tambah Reza memberitahu laki-laki itu.

"Reza gimana-gimana?" tanya Tian yang baru saja datang bersama Hanung, Anugerah, Adit, dan Hardin. Marsi memberikan kertas tadi yang dia terima dari Reza untuk mereka baca bersama.

"Terus kita mau gimana?" tanya Anugerah sambil menatap temannya, "Gue sih mau cari tahu kebenaran dari buku itu," ucap Reza dan disetujui oleh Marsi.

"Gue ikut, gue pengen tahu apa yang sebenernya terjadi sama sekolah ini," tambah Hanung yang jujur saja dia ingin menjaga cowok keturunan Belanda itu.

"Kalian yakin nih? Kalo ternyata kertas ini cuma permainan aja gimana?" tanya Anugerah dengan wajah tidak yakin dengan teman-temannya. "Dan kalo ternyata buku itu beneran ada gimana, Nug?" Hardin berbalik bertanya pada cowok yang memiliki tinggi tubuh 180 cm itu.

"Tapi nyawa taruhannya," jawab Anugerah dengan tegas memperingatkan teman-temannya. "Cenug, kalo lo ga berani kita ga maksa sama sekali kok," ucap Tian menenangkan Anugerah.

"Sial, sial, sial, kenapa sih kita ga bisa sekolah dengan tenang gitu aja normal kayak remaja pada umumnya. Kita sekolah cari ilmu bukan malah cari perkara kayak gini," ucap Anugerah yang terlihat frustasi dengan keadaan saat ini.

"Omongan Cenug emang bener, tapi kita ga bisa diem aja. Mau sampe kapan kita ketakutan sama tanggal 24? Ga mungkin kan kalo kita nunggu nyampe korbannya diri kita sendiri," ucap Hanung sambil menatap temannya satu persatu.

"Harus ada yang bikin perubahan sekarang. Gue ga mau mati konyol di sini,' ucap Hardin dengan wajah serius.

Tacenda 24Where stories live. Discover now