∘☽ BAB 15 : Penulis dan Aspen (1) ☾∘

6 1 0
                                    

⋅•⋅⊰∙∘☽༓☾∘∙⊱⋅•⋅

Di tepi danau, Cla dan Gilbert duduk bersebelahan.

"Oh, begitu. Jadi, Bintang Utara dan Bintang Selatan adalah orang yang terdampar bersamamu?" tanya Gilbert setelah mendengar penjelasan lengkap dari Cla.

Cla mengangguk. "Iya. Aeris adalah assassin yang dikirim untuk membunuhku. Tujuannya adalah kepalaku yang nantinya akan ditukar dengan uang. Tidak hanya Aeris, tapi ada banyak assassin lainnya. Namun, Grace __yang merupakan polisi wanita__ berhasil melumpuhkan mereka."

Gilbert tampak serius mendengarkan.

Cla menghempaskan tubuhnya ke rumput. Wanita itu berbaring sembari menatap langit biru yang cerah. Gilbert melakukan hal yang sama, berbaring di sisi Cla.

Cla melanjutkan, "Seorang wanita menemuiku. Dia bilang, dia ingin alur yang dia buat dijadikan buku. Alur yang dia rangkai itu bergenre action dan thriller dengan tema kriminal. Aku yang butuh uang pun asal menyetujuinya saja. Selain itu, aku ingin mendongkrak popularitas kepenulisan lewat genre yang tidak pernah aku tulis. Seperti penulis putus asa yang banting setir, kan?"

Gilbert menatap Cla yang tersenyum pahit.

"Genre action-thriller cukup populer di abad 21. Aku yakin naskah yang aku buat dari alur tersebut akan laku keras di pasaran. Setelah naskah itu selesai, aku mengirimkannya ke penerbit. Mereka bilang, mereka suka dengan karya tersebut dan akan segera mencetaknya menjadi buku. Namun, aku tak kunjung mendapatkan kabar." Cla menghentikan kalimatnya, lalu menatap Gilbert

"Tiba-tiba para assassin mulai bermunculan. Mereka mengincar kepalaku. Rupanya naskah yang aku tulis itu bukan naskah fiksi, melainkan memang sesuatu yang terjadi di dunia nyata. Alurnya berisi tentang bisnis gelap dari oknum-oknum pemerintahan. Aku tidak tahu kalau ternyata wanita yang memberikanku alur tersebut adalah seorang jurnalis yang ingin membongkar kebusukan oknum pemerintah. Namun, gara-gara itu aku jadi target assassin," papar Cla.

"Pasti kau tidak bisa tidur membayangkan ketakutan itu, seperti yang kau ceritakan pada Master tadi," ucap Gilbert yang merasa kasihan pada Cla.

Cla mengangguk. "Ya, aku selalu dihantui oleh ketakutan setiap saat. Untungnya organisasi pengawas pemerintah mengirimkan polisi elit untuk melindungiku, dia adalah Grace. Aku benar-benar merasa aman bersamanya. Grace mampu menangani para assassin dengan mudah."

Cla menghela napas berat. "Namun, Aeris berbeda. Dia sangat kuat seperti berada di level yang luar biasa. Grace adalah lawan Aeris yang seimbang, tetapi Grace memiliki hati. Dia tak pernah berpikir untuk membunuh Aeris. Dia hanya ingin menangkapnya. Sementara itu, Aeris sangat kejam. Dia bisa membunuh siapa pun dengan mudah. Dia sangat berpengalaman."

Gilbert menatap awan putih yang bergerak di langit. "Lalu, sekarang apa rencanamu? Bukankah kau harus menghindari Aeris yang sekarang menjadi Bintang Selatan?"

"Entahlah. Aku tidak tahu harus bagaimana," sahut Cla.

"Sejujurnya, aku harap kau tetap di sini. Jika kau pergi, aku pasti akan sedih," papar Gilbert.

Cla menoleh pada Gilbert yang saat ini juga tengah menatap ke arahnya. "Kenapa kau...."

"Bukan begitu maksudku," potong Gilbert. "Aku hanya merasa kehilangan sahabat baikku jika kau benar-benar pergi," imbuhnya.

Cla kembali menatap langit. "Aku juga merasa senang tinggal di sini dibandingkan tinggal di abad 21. Di sini aku punya pekerjaan tetap, punya teman, tempat tinggal gratis, dan dihargai oleh orang lain."

Di Markas Kemiliteran Selatan.

Aeris sedang makan apel sambil duduk di pagar balkon. Ia sama sekali tidak takut jatuh dari ketinggian 8 lantai tersebut. Wanita itu memperhatikan para tentara junior dan para tentara senior yang sedang berlatih di lapangan.

"Jadi, si penulis tinggal di gedung aspen karena pekerjaannya itu? Sungguh nyaman," batin Aeris.

"Apa yang membuatmu tertarik dengan gadis aspen itu?" tanya Lazarus Selatan. Sedari tadi, ia berdiri di ambang pintu yang terbuka.

Aeris menoleh. "Aku tidak tertarik padanya. Dia memang terlihat mencurigakan."

"Kau bukan tipe orang yang akan mencurigai seseorang tanpa alasan. Bekerja sama denganmu selama beberapa minggu ini membuatku mengenalmu lebih dekat," papar Lazarus Selatan.

"Pria ini selalu saja mencari celah dariku," gerutu Aeris dalam hati.

"Sepertinya kau mengenal gadis itu secara pribadi," ujar Lazarus Selatan setengah bertanya.

Sementara itu, di Markas Kemiliteran Utara.

Lazarus Utara duduk di kursi kebesarannya sembari menatap Grace yang berdiri di depan mejanya. "Aku mengerti jika kau ingin menolong gadis yang dikejar Bintang Selatan, tapi memasuki gedung sirkus tanpa izin dan mengganggu pelanggan di Kedai Bilton itu sudah keterlaluan."

"Maaf," kata Grace dengan malas.

"Kau tidak terlihat menyesalinya," gerutu Lazarus Utara.

"Aku sungguh menyesal, Lazarus," sahut Grace yang masih memasang ekspresi malas.

"Setidaknya Bintang Selatan masih memiliki hati nurani. Dia meminta maaf dan mengakui kesalahannya di ruang interogasi tadi," kata Lazarus Utara.

"Memiliki hati nurani? Dia (Aeris)?" gerutu Grace. "Pembunuh bayaran seperti itu?" imbuhnya dalam hati.

"Ya, kau tidak memiliki rasa bersalah dalam dirimu. Kau egois dan sulit meminta maaf. Orang yang seperti itu adalah orang rendahan di mataku, tidak jantan," tutur Lazarus Utara.

Alis Grace berkedut mendengar perkataan Lazarus Utara. "K-kau...."

Lazarus Utara memotong ucapan Grace, "Seperti inikah perilakumu pada atasanmu ini? Bintang Selatan yang terlihat dingin dan kejam itu tetap menghormati Lazarus Selatan sebagai atasannya."

"Kenapa kau membanding-bandingkanku dengannya? Kau pikir, aku akan peduli? Aku akan kesal dan iri pada wanita itu? Jangan harap!" gerutu Grace.

Lazarus Utara memijit pelipisnya sembari membuang napas kasar. "Kau benar-benar bocah yang sulit diatur, ya."

"Bocah? Maaf, tapi usiaku satu tahun lebih tua darimu," ucap Grace.

Lazarus Utara memiringkan kepalanya. "Begitukah? Bukankah kau seharusnya bersikap lebih dewasa dari aku."

Grace membuka mulut untuk berbicara, tetapi tak keluar satu patah kata pun dari mulutnya.

"Kau kalah debat. Kembali ke ruanganmu dan renungkan kesalahanmu," suruh Lazarus Utara.

Grace menyahut, "Tapi, bukankah seharusnya aku pergi berlatih atau bersiap-siap? Sebentar lagi Kekaisaran Terra akan menaklukan Kerajaan Maar. Itu perang yang sangat besar karena Kerajaan Maar adalah salah satu kerajaan terbesar di benua ini."

Lazarus Utara menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Kaisar melarang wanita militer masuk ke medan perang. Itu karena beliau tak ingin Putri Thea juga ikut ke dalam peperangan. Jika Bintang Utara dan Selatan diizinkan ikut berperang, kemungkinan Putri Thea akan protes. Atau kemungkinan terburuknya, dia akan menerobos medan perang tanpa sepengetahuan siapa pun seperti yang terjadi sebelum-sebelumnya," paparnya.

Grace membayangkan wajah Putri Thea, wanita berambut cokelat keemasan yang tadi berada di ruang interogasi. "Dia memang wanita yang tangguh. Aku tak mengira akan bertemu langsung dengan wanita hebat seperti dia di zaman Karellus. Ah, aku semakin merindukan abad ke-21," batinnya.

Di Kemiliteran Selatan.

Aeris turun dari pagar balkon. "Jadi, aku tidak akan ikut ke medan perang? Itu bukan kabar baik, juga bukan kabar buruk."

"Itu kabar baik karena wanita memang tak seharusnya berada di medan perang," ucap Lazarus Selatan, kemudian berlalu pergi.

"Saat perang berlangsung, aku harus membawa si penulis novel kembali ke abad 21. Aku tak peduli dengan sejarah. Yang aku pedulikan hanya uang," gumam Aeris. Wanita itu terbatuk-batuk karena cuaca yang semakin dingin.

⋅•⋅⊰∙∘☽༓☾∘∙⊱⋅•⋅

09.41 | 02 Desember 2018
By ucu_irna_marhamah

Follow Instagram :
@ucu_irna_marhamah
@novellova
@artlovae

Para Penjelajah Waktu di Kekaisaran TerraWhere stories live. Discover now