Part Fifteenth

123 36 56
                                    

"Na, coba ke sini sebentar, deh, Nak," seru Mama dari pekarangan belakang rumah mereka. Suara melengking perempuan paruh baya itu berhasil membuat Danah sedikit terkejut dari dalam kamar. 

Jari-jari gadis itu berhenti bergerak di atas papan tombol laptopnya. "Iya, Ma, sebentar, ya," serunya dari dalam kamar tidur. 

Danah beranjak dari kursi, melangkah keluar dari kamarnya. Gadis itu menuruni tangga. Kaki Danah berjalan ke pekarangan belakang. Ia menghampiri Mama yang sekarang sedang berdiri di hadapan mesin cuci. Perempuan paruh baya berbalut mukenah biru itu mengerutkan dahi, menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. 

Satu alis Danah terangkat. Ia mendekati Mama, menyentuh lembut tangan perempuan itu. "Kenapa, Ma?" tanyanya halus. 

"Na, coba, deh, kamu cek mesin cucinya," pinta Mama dengan tatapan khawatirnya. 

Danah mengangguk. Manik cokelat kehitamannya mencari-cari kejanggalan dari mesin cuci merah dengan dua tabung di hadapannya itu. Tumpukan pakaian yang terendam dalam air berbusa di satu tabung itu pasti sumber dari kegelisahan Mama. Jari-jari Danah menyentuh tombol putar. Ia memutar benda itu sembilan puluh derajat, sekitar tiga puluh menit. Namun, mesin cuci itu tidak bekerja. Tabungnya tidak berputar. Danah mengerutkan alisnya. Ia kembali memutar tombol, mengotak-atik mesin itu. 

"Bisa, enggak, Nak?" tanya Mama di belakang Danah. 

Jari-jari Danah masih sibuk dengan tombol itu. Ia bersikeras untuk mengupayakan mesin cuci ini "memesin-cuci". Danah berdecak. "Astagfirullah," gumamnya. 

Ia memutar kembali tombol putar mesin itu. Lagi-lagi, mengaturnya menitnya yang kali ini, hanya selama lima belas menit. Tabung itu tidak kian berputar. Benar-benar, tumpukan pakaian itu tidak berkutik.

"Na, udah, kalo enggak bisa, enggak usah dipaksa," ujar Mama lembut. Tangan Mama menepuk pelan bahu anak gadisnya. 

Danah menghentikan usahanya. Ia menghela napas. "Ma, ini kayaknya mesin cuci kita fix rusak, deh," ujarnya. 

"Ya, kan, Na? Padahal, ya, tadi tuh baik-baik aja, lho. Ini, kok, tiba-tiba malah rusak, kagak bisa muter," keluh Mama. 

Danah memutar tubuhnya, menghadap Mama. "Gimana, ya, Ma?" tanyanya. 

Mama menghela napas. "Nanti Mama panggil Pak Toto dulu, deh, Na. Mama, kan, nyuci tiap hari, bahaya banget kalo ini mesin rusak. Masa harus beli lagi, sih? Kayaknya, mah, ini masih bisa dibenerin, insya Allah," ujarnya. 

"Iya, Ma, coba kontak tukang langganan Mama dulu aja," timpal Danah.

"Ya, udah, Na, kamu masuk lagi aja ke dalem. Mama masih mau liat-liat ini mesin, masih penasaran, deh," ujar Mama.

Danah mengiyakan perkataan Mama. Ia kembali masuk ke dalam rumah. Kaki Danah melangkah menaiki tangga. Ia kembali ke dalam kamarnya. Ia sungguh ingin membantu Mama, tetapi ia tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk memperbaiki mesin cuci mereka yang kini cacat. Mungkin lebih baik jika Danah kembali mengerjakan tugas-tugasnya. Lagipula, Mama sudah memutuskan akan memanggil Pak Toto, tukang yang selalu membenarkan segala anomali di rumah Danah sejak ia kecil. 

Tangan Danah kembali membuka laptopnya. Ia duduk di kursi belajar. Mata Danah menatap esai yang belum juga selesai di hadapannya. Di semester empat ini, semua terasa jauh lebih berat dari semester-semester sebelumnya. Sekarang, Danah mengerti mengapa dosen-dosennya itu sering berkata bahwa semester empat adalah inti dari semua semester. Tidak salah jurusan. Danah tidak pernah berpikir bahwa ia salah jurusan, tetapi otaknya selalu berpikir bahwa ia mungkin seharusnya tetap berada dalam lingkaran sains. Jari-jari Danah menekan tombol-tombol di keyboard. Fokusnya ia tujukan kembali pada esai pemberian dosennya. 

DahliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang