10. Ujian Masuk

31 9 0
                                    

Lucius, Diana, dan Nova tak bergerak sama sekali. Seolah waktu baru saja terhenti setelah kepala sekolah menjentikkan jarinya.

"Di mana kepala sekolah?!"

Aku terkejut ketika melihat kepala sekolah menghilang secara tiba-tiba. Saat itu aku merasakan sesuatu bergerak dengan cepat menuju kakiku. Sontak aku pun melompat ke samping untuk menghindarinya. Namun 'sesuatu' itu terus mengejarku dengan gerakan yang sangat cepat.

"Kenapa kau selalu menyusahkan kami!"

Tubuhku membeku ketika mendengar sebuah suara yang familier di telingaku. Mataku terpaku ketika melihat diriku yang berusia 14 tahun sedang menangis di pojok ruangan.

"M-maaf. Lyra tidak berhati-hati..."

"Dasar ceroboh! Kau sudah menguras uang kami karena koma selama dua minggu. Kau pikir cari uang itu mudah, hah?!"

"M-maaf-"

Buagh! Buagh!

"Raina tidak pernah bersikap seperti itu! Dia anak yang sempurna!"

"A-ampun! Lyra minta maaf!"

"Anak buangan sepertimu harus di didik dengan benar!"

Buagh! Buagh!

"Hah... Apa-apaan ini?" gumamku dengan suara serak.

Ayah terus mencambuk tubuhku dengan gesper sabuknya. Dia bahkan tak peduli dengan lukaku yang kembali terbuka hingga mengeluarkan banyak darah. Setelah ini dia akan menarikku ke kamar mandi, kembali memukuliku tanpa ampun dan dia akan menenggelamkan ku dalam bath tub. Aku ingat semuanya.

"Aku dikunci di sana selama dua hari dengan tubuh yang terluka dan kedinginan. Dia mencekik leherku berkali-kali, dan kau pikir aku akan terluka hanya karena melihat kenangan itu? Tidak akan!" seruku lalu menggigit lenganku dengan kencang.

Dan semuanya menghilang. Aku tidak mempermasalahkannya karena ayahku sebenarnya tidak seburuk itu. Dia adalah orang yang baik.

Wushh!

"Apa ini?!" seruku frustrasi ketika angin itu kembali muncul dan terus mencoba menyerangku. Melihat pola gerakannya, aku pun bersiap untuk mengenainya dengan tendanganku.

Namun saat aku hampir berhasil mengenainya, angin itu berubah menjadi kepala sekolah yang saat ini menahan kakiku dengan satu tangannya, ia lalu menarik kakiku dengan kencang dan membanting tubuhku ke tanah.

Brak!

"Bagus. Kau yang pertama sadar, aku suka refleksmu."

Aku tersadar dengan tubuh lemas. Namun Lucius menahan tubuhku dengan cepat. Saat ini tubuhku tetap berada di tempat semula seolah tidak ada yang terjadi.

"Apa yang kau lakukan?" tanyaku dengan tubuh bergetar. Di sana aku melihat Diana dan Nova masih terdiam dengan tatapan kosong.

"Menonton pertunjukan," ucap kepala sekolah dengan ekspresi dingin. Dia menjentikkan jarinya dan aku bisa melihat apa yang terjadi dengan Nova dan Diana di alam bawah sadar mereka.

"Jadi kau juga melihatnya?" Aku menatap Lucius dengan perasaan marah.

"Maaf," bisik pria itu di samping telingaku.

Aku kembali memejamkan mata ketika melihat Nova di pukul berkali-kali menggunakan tongkat golf di usianya yang bahkan belum lima tahun.

"Nova sudah berjuang melupakan traumanya selama ini."

"Lucius hentikan dia." Aku menggigit bibir bawahku ketika melihat Diana tertawa di depan kedua foto ayah dan ibunya yang telah tiada. Dia bermain di dalam lemari, dan tertawa meskipun air mata menggenang di pelupuk matanya.

The Miracle Of CrystalsWhere stories live. Discover now