07. Mengadu Nasib?

28 9 0
                                    

Author POV

"Ughh... kepalaku pusing," rintih Nova. Saat membuka mata ia terkejut mengetahui dirinya kini berada di alam terbuka. Sejauh mata memandang hanya ada bunga-bunga kecil di sekeliling tempat itu.

"Sudah malam?" gumamnya merasa aneh. Pasalnya langit saat ini sangat gelap namun ada bulan merah yang memberikan sedikit penerangan di atasnya.

"Aku baru ingat ini bukan duniaku. Di mana teman-teman yang lain?" Nova beranjak berdiri dengan wajah yang panik. Ia memperhatikan sekeliling dengan waspada, takut jika monster besar muncul di hadapannya.

"Kurasa aman. Hanya ada bunga di sini," gumamnya sembari berjongkok untuk melihat bunga apakah itu. Jika dilihat, bunga itu berwarna biru cerah dan bentuknya seperti bunga mawar versi mini. Bahkan putiknya bercahaya, ia merasa ingin terus melihat bunga itu karena memang sangat indah.

"Aku harus bersyukur berada di sini di banding terbangun di tengah hutan," gumamnya bernapas lega. Di tempat yang indah ini apalagi dipenuhi bunga tidak mungkin ada monster, iya kan?

Nova menyipitkan matanya, memandang jauh bukit-bukit berbunga yang mengelilinginya. "Semuanya bunga, tidak ada hutan atau apa pun di sini. Ke mana aku harus pergi?" ucapnya sembari melipat tangannya di depan dada.

"Kalau aku pergi sekarang, aku takut ada makhluk buas menyeramkan menyerang ku tiba-tiba. Apalagi jika bentukannya seperti goblin, orc, trol, dan sejenisnya. Ya ampun."

Nova melirik tas selempang kecil yang menggantung di pundaknya. Dengan jantung berdebar ia pun membuka tas itu, berharap benda yang selalu ia bawa ada di sana.

"Ponselku mati," gumamnya putus asa. Nova menghela napas panjang lalu meringkuk dengan perasaan bingung dan panik yang bercampur menjadi satu.

Saat ia meletakkan kembali ponselnya ke dalam tas, ia merasakan ada sesuatu di dalamnya.

"Cutter?"

Nova tiba-tiba berdiri dan mengangkat cutter itu tinggi-tinggi. "Bukankah ini waktu yang tepat untuk menjadi seorang pendekar cutter? Haha, lihat saja. Dunia ini akan segera tunduk padaku!" serunya dengan sumringah. Sebenarnya dia hanya ingin menghibur diri.

"Baiklah, baiklah, sudah dulu sombongnya," ucapnya sudah seperti orang gila. Setidaknya ia masih membawa cutter untuk berjaga-jaga jika ada sesuatu yang menyerang nanti.

"Kurasa aku bukanlah tipe orang yang suka berpikir. Jadi, tunggu apa lagi? Saatnya kita pergi mencari pertolongan," gumam Nova antusias.

Beberapa menit kemudian-

"Hosh... Hosh... a-air! Aku lelah sekali!" ucapnya dengan napas tersengal-sengal. Saat ini ia berusaha untuk mengatur napasnya. Karena tak kuat, Nova pun merebahkan dirinya di atas bunga-bunga yang bermekaran.

"Sepertinya jalan menjadi pendekar tidak jadi kupilih. Aku tidak kuat berjalan jauh," gumamnya dengan napas berat. Dia mendesah lelah sebelum akhirnya bangkit untuk duduk.

"Tidak ada waktu untuk bersantai. Aku harus mencari yang lain. Mereka pasti ketakutan. Apalagi Nicole. Jika dia terbangun di tempat sepertiku sudah pasti dia tidak akan berhenti bersin, dia kan alergi bunga," ucapnya.

Nova pun kembali terdiam menatap sekelilingnya yang tampak sama meski ia sudah berjalan cukup jauh tadi. Bagaimana tidak? Yang ia lihat hanyalah bunga, bunga, dan bunga.

"Nah, sekarang kita akan kemana? Ke sana? Ke sana? Atau ke sana?" ucapnya dengan pose berpikir. Di mana arah timur, barat, utara, dan selatan?

"Semua arah tampak sama pula," gumam Nova bingung. Ia menggigit bibir bawahnya dengan perasaan kesal. Ia benar-benar tak tahu harus bagaimana.

The Miracle Of CrystalsWhere stories live. Discover now