04. Nicole & Lucius

34 9 0
                                    

"Apa kau percaya dengan sihir?" tanyaku dengan ragu. Mungkin saja benar, jika kita percaya dengan sihir, kita dapat melihat apa yang sebelumnya tidak dapat dilihat.

"Eh?"

Gadis itu memicingkan matanya. Dia seperti memikirkan sesuatu. Ah, tidak. Mungkin lebih tepatnya sedang mempertimbangkan sesuatu.

"Jadi kau percaya padaku? Apa kau juga melihatnya?" tanya Elina sedikit ragu. Aku pun mengangguk cepat.

"Kalau begitu..."

Wussh!

Elina menggerakkan jemarinya dengan lihai di hadapanku dan seketika pusaran angin kecil terbentuk di atas tangannya.

"Aku bukan hanya percaya sihir, tapi aku juga memilikinya," ucap gadis di hadapanku itu dengan senyum manis.

"Sejak kapan kau menguasainya?" tanyaku dengan antusias. Aku belum pernah melihatnya, bahkan di film. Aku bukan penggemar cerita bergenre fantasi seperti itu.

"Sebenarnya aku tidak tahu. Tapi ini terjadi sejak kemunculan manusia tanah itu," ucapnya lembut. Ia menatap jemarinya yang saat ini tengah bergerak mengendalikan angin untuk menerbangkan dedaunan di sekitar kami.

Sret!

Elina menatapku dengan cepat. "Jangan pernah menyakiti manusia tanah itu. Kita hanya perlu mengabaikan mereka dan menganggapnya seperti orang biasa," ucapnya dengan serius.

"Kau tahu kenapa?" tanya gadis itu. Matanya menatap waspada di sekitar kami.

"Mereka akan melenyapkan mu. Aku pernah melihat seseorang berteriak pada manusia tanah itu dan seketika kepala manusia tanah itu membesar, melahap orang itu hidup-hidup!" ucap gadis itu. Nyaris seperti bisikan yang sukses membuat tubuhku merinding.

Jika hal ini semakin lama dibiarkan, entah berapa banyak orang yang tak akan selamat.

Puk!

Elina menepuk pelan pipiku, ia tersenyum dengan lembut. Menyadarkan diriku dari pikiranku yang semakin menggila.

"Hehe, ternyata kau ini lebih pendiam dariku, ya?" kata gadis itu.

Aku pun tersenyum tipis karenanya. "Sebenarnya tidak juga, aku hanya senang menyusun kata-kata dalam pikiranku dan lupa untuk menyampaikan apa yang kupikirkan," kekehku. Lebih tepatnya aku senang berbicara dengan diriku sendiri.

"Sama saja! Yah meskipun aku juga begitu, tapi kita juga harus jujur terhadap orang lain. Menyembunyikan sesuatu terkadang bukan jalan keluar yang baik," ucapnya lalu mengerucutkan bibirnya.

"Dan terkadang juga menyakitkan, bukan?" lanjut gadis itu. Dia meringis melihatku.

"Yah, kau benar."

Author POV

"Sepi sekali hidupku tanpa mereka," desahnya. Ia merasa menyesal masuk sekolah hari ini. Jika saja ia di rumah, pasti ia akan menyiapkan banyak makanan yang lezat.

"Diana juga. Di saat seperti ini kenapa kerjaannya rapat terus?" gerutu gadis itu dengan sedih.

Tapi sampai saat ini Diana masih terus mencoba menyadarkan teman-temannya yang masih tersisa. Itulah mengapa dia memilih untuk terus masuk sekolah. Tidak bisa dipungkiri jika Diana memiliki semangat juang yang tinggi.

The Miracle Of CrystalsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang