09. Pesan Tertulis

43 11 0
                                    

Aku dan Lucius baru saja berpamitan untuk segera melanjutkan perjalanan. Sebenarnya kami menaiki Sylphy sampai perbatasan hutan floris, dan sekarang kami berada di hutan biasa. Tidak ada jamur menyala atau pun tumbuhan warna-warni, semuanya normal di hutan ini.

"Kenapa diam saja?" Lucius bertanya dengan wajah penasaran. Pria itu sudah menceritakan mengenai apa yang terjadi pada Diana dan Nova. Mereka aman di Luminous Academy.

Aku menggeleng pelan. "Kau percaya anak kecil tadi berusia lima puluh tahun lebih?"

"Tentu saja, kenapa?"

"Tidak papa. Itu terlalu mengejutkan untukku," gumamku sedih. Sang Ratu kehilangan suaminya tepat saat Isabella baru saja lahir.

Aku jadi teringat perkataan Ratu yang mengatakan jika ia mempercayaiku untuk memimpin barisan para peri nantinya. Aku bahkan tidak memiliki kekuatan saat ini. Apanya yang pemimpin dan penjaga?

"Sebenarnya apa yang terjadi pada Lilyna, Lazyra, dan yang lainnya sih?" tanyaku pada Lucius yang sejak tadi berjalan di sampingku.

"Panjang. Tapi kalau kau mau berlama-lama denganku-"

"Tidak jadi. Lebih baik aku membaca buku sejarahnya saja kalau ada," ucapku dengan helaan napas panjang. Pria itu mendengus geli mendengarnya. Kalau aku tidak salah informasi, peperangan tersebut terjadi sekitar lima puluh tahun yang lalu.

"Tadi aku dengar kau mengancam Ratu, benarkah?" tanyaku memecah suasana. Aku masih tidak percaya jika dia melakukannya.

"Maaf."

Aku mengerutkan keningku ketika dia mengatakan maaf barusan. "Kenapa?" tanyaku menatapnya. Namun pria itu justru menghindari tatapanku.

"Seharusnya aku datang lebih cepat," gumam pria itu nyaris tak terdengar. Kedua alisnya bertaut seolah menyesali perbuatannya.

"Oh, tidak masalah. Semua itu kan sudah berlalu, aku baik-baik saja sekarang," ucapku sembari menatapnya bingung. Aku sama sekali tidak mempermasalahkannya, jadi kenapa dia minta maaf?

Pria itu menyipitkan kedua matanya lalu menatapku dengan tajam. "Kau bercanda? Aku tidak suka melihatmu dalam bahaya setiap saat. Jadi jangan-"

Dia menghentikan ucapannya. Matanya yang semula menatapku tajam, kini mulai melembut.

"Jangan apa?" tanyaku penasaran. Apa sih?

Dia berbalik, berdiri di hadapanku dengan tatapannya yang dalam. Aku bahkan tak sadar jika dia menautkan jemarinya dengan jemariku.

"Jangan membuatku kehilangan akal karena takut kehilanganmu. Kau membuat jantungku menggila..." ucapnya lirih, nyaris tak terdengar.

Sebenarnya tak ada yang salah dengan perkataannya. Namun, hatiku berdesir ketika melihat semburat tipis muncul di wajahnya.

Aku memalingkan wajah dan melepaskan tautan tangan kami segera setelah merasakan wajahku mulai memanas. Untungnya hutan ini lumayan gelap.

"A-aku akan lebih hati-hati," gumamku lirih. Sial, situasi macam apa sih ini?

Seolah tersadar, Lucius pun terkejut sebelum akhirnya berjalan mendahuluiku. Meski gelap, aku dapat melihat semburat merah di telinga dan belakang lehernya.

"Lupakan," gumamnya dengan suara serak yang masih terdengar olehku.

Jangan salah paham, ini karena aku baru pertama kali melihatnya gugup. Aku jadi ikut-ikutan gugup karenanya. "T-tidak. Aku hanya ingin berterima kasih. Kau selalu menyelamatkanku setiap saat," gumamku lirih. Kuharap dia mendengarnya.

"Aku senang melakukannya," ucap pria itu kemudian berlari kecil ke arah pohon yang tak terlalu tinggi di depan. Dia memetik buah di pohon itu.

"Buah Bliss. Buah ini akan memudahkan kita untuk melihat dalam gelap. Makanlah, kau belum makan sejak tadi," ucap Lucius sembari memberikan buah itu padaku. Warnanya biru dan ukurannya sebesar buah apel. Tapi bentuknya seperti buah strawberry.

The Miracle Of CrystalsWhere stories live. Discover now