"Coba tebak siapa," titah Irfan sambil senyam-senyum membuat Rea curiga.

"Tante Ninda?"

"Hah?" Irfan menoleh lagi. "Tante Ninda itu udah punya suami, Sayang. Masa Daddy jadi pebinor, sih?"

Rea menghela nafas, berusaha menebak. "Bu Wati lagi? Bu Har?"

"Bukan, Rea sayang. Tapi pacar Daddy itu gu-"

"Irfan! Irfan, Irfan, Irfan!"

Panggilan antusias terdengar tidak sabar itu buru-buru menyita perhatian keduanya. Oma Jamilah yang baru saja pergi ke luar rumah tiba-tiba datang dari arah pintu utama. Seperti biasa, dengan satu tas branded mahal melingkari pergelangan tangan kirinya.

"Iya, Ma? Kenapa? Kok Mama keliatan seneng gitu?" Irfan yang penasaran pun menutup halaman majalahnya dan berdiri.

"Saya sudah ada calon buat kamu."

Keheningan seketika menyarapi ruangan itu. Beberapa detik belum ada yang bersuara. Rea dan Irfan sama-sama membeku, terlalu speechless dengan satu ucapan Oma itu, sementara Oma belum kunjung melenyapkan senyum senangnya. Entah keduanya membeku antara senang, bahagia, atau justru kecewa karena hal itu tidak sesuai dengan harapan.

Rea menyela sambil berdiri. "Oma, tapi Rea juga udah punya calon buat Daddy."

Irfan menoleh ke arah putrinya, seolah sudah menebak-nebak siapa calon yang Rea maksud.

Kedua mata Oma terbelalak. "Tahu apa kamu? Yang pantes nyariin calon buat papa kamu itu saya! Kamu itu cuma anak yang nggak tahu apa-apa!"

Rea menyahut dengan tegas. "Tapi, Oma-"

"Ayo, Irfan." Irfan tidak berani membantah atau menyela bahkan sampai Oma menarik satu lengannya, membawanya keluar, tubuh Irfan pasrah diseretnya keluar rumah. "Calonmu udah nunggu di depan."

Rea tidak bisa berkata apa-apa lagi selain menjatuhkan tubuhnya, menyandarkan punggungnya di kaki sofa. Termenung. Harapannya sia-sia. Harapan agar bisa menjodohkan Bu Wening dengan ayahnya. Hanya Bu Wening satu-satunya orang yang tepat bagi Rea, bukan yang lain.

Harapan agar membangun kembali kebahagiaan keluarganya. Mempunyai Ibu tiri bukanlah suatu hal yang menyenangkan. Tapi mempunyai Ibu tiri sepengertian Bu Wening adalah harapan. Harapan yang sekarang dipaksa hancur karena Omanya.

Mau setepat apapun pilihan Oma, bagi Rea tetap tidak ada yang bisa menggantikan Bu Wening di hatinya.

Tiba-tiba ponselnya berdering. Telepon dari Nata. Gadis itu segera menegakkan tubuh dan menekan tombol warna hijau, sebelum mendekatkan ke telinga.

"Halo Nat, kenapa?"

"Kok suaranya lesu amat, sih, Nona Andrea? Kenapaaa?"

"Nggak apa-apa, kok, lagi kesel sama Oma aja."

"Ohhh. Saya mau laporan hal terpenting, Nona."

"Laporan apa lagi, sih?" Entah kenapa Rea mendadak berubah khawatir. "Lo nggak apa-apa, kan?"

"Tidak, Nyonya. Natarel Andreano baik-baik saja."

"Terus mau laporan apaaa?"

"Saya ingin melapor bahwa saya sudah makan."

Satu decakan kesal terdengar. "Ya ampun... kirain kenapa."

"Lo sendiri udah makan?"

"Udahlah."

"Lapor juga, Non Andrea, sekarang saya lagi keluar dan nanti akan pulang ke rumah."

"Ya ampun, sampe laporan gitu?" Rea mendengus geli.

NATAREL (SELESAI✔️)Where stories live. Discover now