65 | Danau, Hujan, Momentum

26 16 6
                                    

"Aduh, Pak, ini kenapa jalannya jadi lambat sekali?"

Sang bapak-bapak sopir yang sibuk menyetir melirik sebentar ke penumpang yang duduk di belakang dari arah spion dengan lagak sopan.

"Mohon maaf, Ibu, ini sepertinya bannya agak kempes."

"Jalannya bagus, beraspal. Kok bisa tiba-tiba kempes aja, sih?" heran Oma Jamilah. Padahal, tinggal beberapa meter lagi beliau sampai di rumah menantu dan cucunya. Dan perasaan, tadi mobil taksi yang dinaikinya ini baik-baik saja. Ada yang aneh.

"Mohon maaf, ya, Bu, sekali lagi." Bapak Sopir terlihat makin merasa bersalah sekaligus gelisah. Padahal, ban mobil taksi tadi sebelum mereka berangkat sudah dikontrol dan dipastikan baik-baik saja.

Mobil taksi itu berhenti di tengah jalan, persis saat keadaan di sekitar sana sepi.

"Ibu kalau terburu-buru, boleh, kok, cari taksi yang lain. Saya mau ganti ban dulu, Bu," kata Pak sopir.

"Ah, ya udahlah, saya tungguin saja." Oma akhirnya pasrah sebelum membuka pintu untuk turun, begitupun dengan Pak sopir taksi. "Nggak lama, kan?"

"Nggak, kok, Bu, kalau tidak ada kendala." Pak sopir yang hampir menginjak kepala enam itu mengecek ban mobilnya, sementara Oma mengibas-ibaskan kipas di sisi lain, kegerahan.

Sepertinya tidak ada yang sadar di antara mereka kalau mobil taksi itu melindas beberapa paku yang sengaja ditabur di tengah jalan hingga menyebabkan ban kempes karena tertusuk ujung paku. Dan sepertinya, ada yang melakukan hal itu tanpa mereka sadari.

Kemudian, beberapa detik berikutnya, ada dua pria paruh baya yang tiba-tiba datang entah dari dunia belahan mana.

Salah satunya bertanya, "Ada apa ini, Pak?"

Bapak sopir yang ditanya saat sudah berjongkok menoleh sebentar. "Ah, ini, Pak. Bannya tiba-tiba kempes. Saya mau ganti."

Pria yang satunya lagi terlihat berkecak pinggang. "Waduh... kalau begitu biar kami bantu aja, ya, Pak? Biar cepet. Kasihan Ibu ini daripada nungguinnya lama?"

Oma menyahut mendahului Pak sopir taksi yang sudah membuka mulut hendak membalas. "Tuh, Pak. Mumpung ada yang mau bantuin," setuju Oma. "Biar lebih cepet. Panas ini," keluh Oma tidak sabar.

Pak sopir terlihat tengah berpikir sebentar sebelum mengangguk ragu. "Baik, mohon kerjasamanya, ya? Serepnya di belakang, ya, Pak."

Dua pria paruh baya tadi mengangguk, sebelum saling tukar pandang, seolah mempunyai maksud terselubung di balik dua tatapan itu tanpa disadari Oma dan si sopir taksi, kemudian membantu Pak Sopir mengganti ban dan memperbaiki sesuatu yang rusak lainnya.

Tak membutuhkan waktu lama, dua pria itu akhirnya selesai.

"Wah, cepet banget." Binar terlihat di iris bapak sopir. "Terima kasih banyak, ya, Pak."

Salah satu pria itu mendengus. "Waduh... jaman sekarang nggak ada yang gratis, ya, Pak."

Oma terlihat paling heran daripada si bapak, mengerutkan kening penuh selidik. "Maksud bapak ini apa, ya?"

"Ya harus ada bayarannya, lah," ucap pria yang memakai kalung rantai spontan.

Oma Jamilah mencegah sopir taksi saat hendak mengeluarkan uang. "Biar saya aja, Pak," kata Oma berbaik hati sembari merogoh tas mahalnya sebelum mendengus tajam tak ikhlas ke arah dua pria paruh baya yang menunjukkan telapak tangan mereka, tak sabar meminta imbalan.

Oma memberi mereka masing-masing dengan nominal lima puluh ribuan. Tapi, mereka tidak tahu terima kasih justru meminta yang lebih.

"Ini, mah, cuma buat makan sehari doang," protes pria yang memakai kalung rantai.

NATAREL (SELESAI✔️)Where stories live. Discover now