56 | Confess di Kuburan dan Duka

18 10 2
                                    

"Lucu, ya, confess di kuburan? Kesannya kayak disaksikan orang-orang di tempat umum, bedanya sekarang orang-orangnya pada meninggal semua."


"Dia emang cinta pertama gue. Tapi lo... cinta terakhir gue. Kita juga udah mantan jauh sebelum dia meninggal, sementara lo pacar gue sampai kita nikah, gimana? Masih cemburu?"


"Thank you, ya, Von, traktirannya."

"Yep. Kalo mau pesen lagi, silakan."

Rea terperangah. "Ceritanya baru jadian sama Karin, nih?" tebaknya antusias.

Devon menggeleng. "Murni karena lagi pengen traktir. Enak aja."

"Oh, iya." Rea berhenti mengunyah spaghetti sebentar, sebelum menatap Devon. "Katanya ada yang mau lo bicarain sama gue? Apaan?"

Devon menyengir. "Ah, ntaran. Kunyah dulu. Habisin dulu makanannya."

Rea mengangkat satu jempol. "Woke."

"Mau tambah lagi minumnya?" tawar Devon sambil memegang segelas jusnya.

"Boleh."

Devon menggeser minumannya yang masih utuh itu di hadapan Rea. Rea menariknya mendekat, sebelum dia hendak meminumnya setelah selesai mengunyah, tanpa sengaja minuman itu tumpah membuat baju yang Rea kenakan basah. Devon dan Rea sama-sama terkejut.

"Aduh! Hati-hati makanya, Re!"

Rea menarik dua lembar tisu dan mengelapnya. "Gue ke toilet bentar, ya?" pamitnya buru-buru.

Kepergian Rea menerbitkan senyum penuh arti Devon. Laki-laki itu meraih sesuatu dalam saku celana. Membuka kotak persegi panjang, memperlihatkan sebuah kalung berliontin cantik. Kalau dibayangkan Rea memakai ini... pasti dia akan lebih cantik lagi.

Rea kembali beberapa menit kemudian. Devon menutup kotaknya dan memasukannya lagi ke dalam saku tanpa Rea sadari.

"Udah? Nggak mau ganti baju lagi aja?"

Rea menggeleng. "Nggak usah. Ntar juga kering, kok, kan nggak sampe sejam gue keluar, hehe. Eh, cepet, lo mau ngomong apaan?"

Devon tersenyum karena Rea tak sabaran. Mungkin inilah saatnya laki-laki itu mengungkapkan semuanya, mumpung sedang berdua dengan Rea di meja itu. Itu artinya tidak ada pengganggu momen keduanya. Demi apapun laki-laki itu deg-degan luar biasa. Pengalaman ini memang bukan untuk yang pertama kali baginya, tapi rasanya akan tetap sama, gugup.

Devon berdeham sebentar, bersiap akan berbicara. "Re, sebenarnya gue-"

"What the f*ck!" Rea berdiri menyadari sesuatu. Rautnya keliatan panik.

Devon menatapnya bingung, sebelum Rea meneruskan, "Jepit rambut gue kok nggak ada, ya?" Gadis itu meraba-raba rambutnya, dan tidak menemukan benda berharga yang akhir-akhir ini selalu dipakainya itu. Rea meneruskan observasinya ke lantai-lantai yang tadi dia pijak.

"Apa ketinggalan di toilet?" tebak Devon, berusaha menenangkan kepanikan Rea.

Rea mengangguk ragu sebelum berpamitan ke toilet lagi.

Devon lagi-lagi tersenyum geli, kini sambil geleng-geleng menatap punggung mungil itu berlari. Tingkah Rea satu tadi benar-benar lucu.

•••

Devon mengelus sebentar belakang kepala Rea, menenangkan seiring dengan langkah keduanya yang beriringan keluar restoran. "Udah, cuma masalah jepit rambut nggak usah digalauin. Beli lagi, kan, juga bisa? Atau mau gue beliin?"

NATAREL (SELESAI✔️)Where stories live. Discover now