"Barengan aja sama dia."

Rea sedikit linglung. Nata menerima uang kembalian dan kertas totalan semua pesanan sebelum berbalik, berjalan menuju meja kosong mendahului Rea. Keduanya duduk di bangku dekat jendela.

"Padahal gue ada uang pas," ujar Rea sambil mengeluarkan uang pasnya di depan Nata. "Nih, gantinya."

Nata mendorong uangnya kembali di depan Rea tanpa menatap uang itu. "Nggak usah," tolaknya. Rea menampilkan raut bertanya-tanya sebelum Nata langsung melanjutkan, "Gue nggak nerima basa-basi. Ambil aja."

Rea menghela nafas. "Tapi gue nggak enak." Satu telunjuknya nyaris mendorong kembali uang itu, tapi suara Nata mengurungkannya di tengah jalan.

"Gue juga nggak nerima bantahan. Kalo lo ngebantah, gue tinggal di sini." Laki-laki itu berpura-pura berdiri, ekspresi Rea langsung berubah panik.

"Eh, nggak usah, nggak usah! Oke, deh! Nih!" cegahnya sambil memasukan kembali uangnya ke dalam saku celana.

Diam-diam Nata tersenyum penuh kemenangan saat duduk. Tidak lama kemudian, pesanan mereka datang di antara keheningan di meja itu. Yang terdengar sampai sekarang hanya obrolan-obrolan ringan para pengunjung, kebisingan di belakang (dapur), dan kebisingan kendaraan-kendaraan di jalan raya, sementara kedua penghuni mejanya sibuk memainkan ponsel masing-masing.

Nata menatap piring Rea tidak percaya, ternyata benar, ada lima paha ayam yang dipesannya. Pesanan tadi bukan sandiwara belaka. Gadis itu dengan lahap memakan paha ayam tanpa raut terpaksa sedikitpun. Kalau Nata sudah tahu dari tadi Rea tidak bermain-main, dia akan berkomentar seperti sekarang.

"Itu seriusan lo makan segitu, Re?"

Mulut Rea masih mengunyah saat mendongak, menatap Nata bergantian dengan makanannya. "Kenapa?"

Nata masih menampilkan raut heran. "Emang habis, ya, segitu? Mau gue bantu habis—"

Rea spontan menepis tangan Nata saat cowok itu hendak mengambil satu paha ayamnya, menatap laki-laki itu sangsi. "Enak aja! Punya lo masih banyak juga!" liriknya ke piring Nata yang tidak sebanyak milik Rea. "Gue laper tahu." Dia melahap paha ayam yang ke dua, sementara yang pertama sudah bersih hanya tinggal tulang-belulang.

Nata menggeleng-gelengkan kepalanya tidak habis pikir. Kalau dideskripsikan Rea sekarang, sudah seperti Nata menonton mukbang saja. Ternyata benar, Rea benar-benar nyaris menghabiskan semua paha ayamnya. Kini tinggal satu.

Kalau dipikir-pikir, Rea ini memang tidak tahu malu, tapi cukup mengesankan. Biasanya, kalau Nata kencan dengan cewek, cewek itu selalu meninggalkan sisa makanannya, cara makannya pun terlihat berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Rea, seakan-akan cewek selain Rea itu menjaga image di hadapan Nata.

Rea melihat sekitar saat masih mengunyah ayamnya hingga kedua pipi mengembung. "Kebanyakan orang suka paha ayam, ya?" celetuknya, sebelum menoleh ke arah Nata yang tengah meminum jusnya. Menelan makanannya sebelum lanjut, "Gimana kalo kita ngerekayasa gen ayam biar punya enam kaki?"

Gadis itu spontan mengaduh saat mendapatkan tendangan di betis kanannya di bawah meja. Refleks jemarinya menyentuh betisnya dengan tatapan kesal ke arah Nata kenapa dia menyerangnya.

•••

Rea dan Nata melanjutkan perjalanan membeli kado ke mal.

Nata mengikuti kemanapun Rea pergi. Sudah ada tiga tempat yang keduanya kunjungi tapi tidak menghasilkan apa-apa. Sewaktu di toko aksesoris dan make up pun, Rea hanya mencoba memoleskan lip tint di bibirnya tanpa berniat membelinya, padahal sudah berkeliling di rak toko itu tanpa ada yang terlewatkan sedikitpun.

NATAREL (SELESAI✔️)Where stories live. Discover now