51. About Fireflies!

4.2K 368 76
                                    

Ada beberapa hal yang tak Mario suka di dunia ini. Pertama ketika ia harus memaksa diri menerima kenyataan pahit di saat sang ibunda meninggalkannya untuk selamanya. Kedua, ia tak suka ketika sepupunya harus terbaring lemas di brankar seperti saat ini.

Gejolak rasa takut sekaligus cemas ia rasa kala Stevan mengabarinya jika Akila tak sadarkan diri di saat ia sedang berada di perpustakaan kampus. Beruntung, Stevan membawa Akila ke rumah sakit tanpa menunggu ia kembali.

Bip bip! Getar sebuah notifikasi masuk ke ponsel yang sedari tadi Mario genggam. Layar benda pipih itu menyala, menampilkan sebuah pesan dari Mida - Mami Akila yang sempat ia kabari di saat dokter tengah menangani sepupunya.

"Akhirnya," gumam Mario sendu. Ia melangkah mendekat pada sepupunya yang tertidur dengan keadaan pucat.

Tangan Mario terangkat, menyingkirkan anak rambut yang menghalangi wajah sepupunya. Tatapannya berubah sendu.

"Mami akan datang," ujarnya sambil tersenyum getir. Akila pasti butuh Denada dalam keadaan seperti ini.

Mario tak mengerti. Ini pertama kalinya Akila mengalami demam seperti ini. Beberapa kali Akila muntah dengan suhu tubuh yang sangat tinggi.

Sedari awal, Mario tak menginginkan Akila jauh dari rumah, jauh dari Denada dan jauh dari Zania. Karena Akila bersikeras untuk tinggal bersama, Mario tak bisa menolak dan membantah keinginan Akila.

Mario tak ingin Akila sakit. Ia pernah beberapa kali memberi Akila tawaran agar kembali ke Indonesia, namun dia menolak mentah-mentah. Menghadapi Akila yang sakit seorang diri membuat Mario kalang kabut. Ia takut.

"Kak Mario ...," lirih Akila ketika ia merasa telapak tangannya digenggam kuat. Ia tahu jika yang melakukan itu adalah sepupunya, meski tanpa membuka mata sedikit pun.

"Iya, Kak Mario ada di sini." Mario duduk di kursi tanpa melepaskan genggamannya pada Akila.

Akila membuka mata perlahan. Yang ia rasakan saat ini adalah tubuhnya terasa lemas dengan pandangan memburam. Semuanya terjadi begitu saja. Ia pusing, panas, lalu semuanya menjadi gelap.

"Jangan kasih tau Papi Mami kalo Akila demam. Nanti Akila juga bakal sembuh ... jadi mereka nggak perlu tau. Akila masih mau tinggal di sini, bareng Kak Mario ...." Akila bersuara pelan.

Mario menggeleng. Kali ini ia tak akan menuruti perkataan Akila lagi. Aditama dan Denada harus tahu tentang Akila. Mereka harus datang, menemui Akila serta membujuk Akila agar kembali ke Jakarta. Ia bisa sendiri di negara ini.

"Mida dalam perjalanan," jawab Mario.

Akila menggeleng. "Mami nggak boleh tau, Kak Mario ... bagaimana kalau Mami maksa Akila pulang? Akila nggak mau Kak Mario sendirian." Air mata Akila menggenang.

Mario mengusap air mata Akila yang mengalir, membasahi bantal. Ia tak punya pilihan lagi, berharap Akila mengerti akan niat baiknya.

"Adek, Kak Mario udah gede. Kamu nggak perlu khawatir. Kepergian Bunda udah bisa Kak Mario terima. Sedari awal, Kak Mario tau kamu lebih betah tinggai di Jakarta dari pada di sini. Ada banyak hal yang tertinggal di Jakarta, kamu harus balik."

Lagi, Akila menggeleng. Dia menyangkal semua perkataan Mario. Seperti janjinya, ia akan kembali ke Jakarta setelah Mario menyelesaikan pendidikan di negara ini.

"Kak Mario janji, akan baik-baik aja di sini. Lagi pula, ada Kak Stevan yang tiap hari mampir ke apart. Yang Kak Mario mau, Akila balik dan lanjutin aktivitas yang kamu sukai di Jakarta. Adek kangen Tarzan, kan? Adek mau ketemu Langit, kan? Adek mau bikin strawberry coklat lagi kan, bareng dia?"

I'm Not A Narsis Baby (ON GOING) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang