8. Guru Galak

12.9K 1K 20
                                    

Langkah kaki Akila di koridor sekolah terhenti saat mengingat pertemuan semalam. Sontak, ia menepuk jidat lantaran mengingat wajah Daniel yang terasa begitu familier. Benar ... Ia pernah membawakan Langit makanan dan kebetulan pria itu yang menyambutnya di depan pintu.

"Kok Akila bisa lupa sih?" Akila melanjutkan langkah. Sebelah tangannya menenteng kotak bekal berwarna merah muda. Ia bawakan untuk seseorang. Tentu kalian sudah tau siapa.

"Tapi kenapa Om Daniel enggak ngenalin Akila? Tapi untung aja ... Akila bersyukur Om Daniel enggak ngebocorin sama Mami Papi kalo Akila pernah dateng ke rumah Kak Langit sendiri. Kalo sampe itu terjadi, Mami pasti bakalan ngomelin Akila." Akila mengusap dada, ia lega.

Akila jalan berbelok menuju bangku panjang yang terletak di taman depan kelas. Ia datang hari ini terlalu pagi, menggunakan mobil kesayangannya yang telah selesai diperbaiki oleh orang bengkel. Akila awalnya ingin menjemput Zania, rupanya gadis itu berangkat bersama sepupunya. Semalam Akila tak jadi menginap, ia pulang pesta sudah jam 11 malam. Setiba di rumah ia langsung tepar.

"Adem banget pagi-pagi gini." Akila menghirup udara sejuk sebanyak-banyaknya. Rongga dadanya pun makin terasa segar karena banyak pohon hijau tumbuh memanjang sampai ke kelas paling ujung.

Sepertinya belum ada tanda-tanda Langit datang sepagi ini. Akila pun memutar ransel yang semula ada di punggung, menaruhnya ke atas paha.

"Surat cinta Akila harus dibaca sama Kak Langit. Tapi gimana caranya ya? Bahkan, Akila udah lupa ini surat yang keberapa? Dua ratus atau lebih?" tanyanya pada diri sendiri.

"Akila suka sama Kak Langit sejak pertama ketemu. Apa Kak Langit masih inget kejadian waktu itu? Akila ceroboh banget sampe nabrak Kak Langit," kekehnya. Ia sudah seperti orang gila, berbicara dan tertawa sendiri di bangku taman.

Akila mengembuskan napas lalu membuka amplop berwarna merah muda itu. Di dalamnya ada secarik kertas berwarna putih. Kata-kata yang mewakili perasaannya tertulis di sana. Sengaja ia buat sebelum berangkat ke sekolah. Akila tak ingin absen memberi Langit surat cinta.

"Akila yakin, surat cinta Akila pasti bisa bikin Kak Langit luluh suatu hari nanti." Akila menyemangati diri sendiri.

Setelah puas menghirup udara segar di taman, Akila pun memasukkan surat cinta miliknya ke dalam ransel kemudian menenteng kotak bekal. Ia melangkah menuju kelas.

"Akila harus buru-buru sebelum Kak Langit dateng. Nanti Akila ketahuan lagi nyelipin surat ke loker." Akila segera menaruh ransel serta kotak bekal ke atas meja.

Setelah mengambil surat cinta, Akila berlari keluar dari kelas. Rambutnya yang tergerai bergerak ke kiri dan ke kanan seiring larinya bertambah kencang menuju loker favoritnya itu.

"Yes, Akila berhasil." Akila mengusap dada sembari menetralkan degup jantung serta napasnya yang sedikit ngos-ngosan. Surat cintanya berhasil masuk ke dalam loker tanpa sepengetahuan Langit.

"Capek lari-larinya?"

Akila benar-benar terkejut. Ia mengenali suara itu dan sangat mengenalinya. Perlahan, wajah Akila berubah melas. Kenapa semesta tak pernah berpihak kepadanya? Setiap ia berusaha sembunyi-sembunyi memasukkan surat cinta ke dalam loker bernomor 30 itu, pemiliknya selalu mengejutkannya. Datang secara tiba-tiba seperti hantu.

"Malem ketemu pagi juga ketemu." Langit bersuara lagi lalu membuka lokernya, memasukkan seragam olahraga. Jadwal sudah diganti.

"Kak Langit ngagetin Akila taukk!" Akila memberanikan diri menatap Langit. Pipinya menggembung. Pura-pura sebal pada cowok itu.

"Lo juga bikin gue kaget. Tadinya gue kira hantu yang lagi patroli, liat-liat loker siswa di sekolah ini. Taunya bayi narsis," jawab Langit tanpa menatap Akila. Hal itu membuat pipi gadis itu semakin cemberut.

I'm Not A Narsis Baby (ON GOING) Where stories live. Discover now