51. About Fireflies!

Start from the beginning
                                    

"Kak Mario nggak suka liat kamu sakit begini," lirih Mario. Matanya berkaca-kaca sambil mengusap pelipis Akila yang berkeringat, panas.

Akila menggenggam jemari Mario.

"Akila nggak mau balik ke Jakarta sebelum Kak Mario selesai kuliah di sini. Kak Mario balik dan Akila juga bakal balik. Jangan pura-pura kuat, Akila tau Kak Mario selalu sedih saat keinget Bunda. Kepergian Bunda ... hal yang paling berat buat Kak Mario terima. Omong kosong saat Kak Mario bilang Kakak baik-baik aja," ujarnya terisak.

"Sekarang Kakak udah terbiasa tanpa Bunda, Akila. Meski Bunda udah nggak ada, masih ada Papa. Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik aja." Mario berkata.

"Dia selalu sibuk!" ketus Akila dengan air mata kian tumpah. "Pokoknya Akila mau di sini bareng Kak Mario. Akila udah janji sama Bunda, bakal terus nemenin Kak Mario."

Perdebatan itu berlangsung cukup lama. Mario yang ingin Akila kembali ke Jakarta, sementara Akila dengan niat tulusnya, ingin menemani Mario hingga semuanya berjalan seperti biasanya. Akila tahu, tidak mudah bagi Mario. Akila tak ingin Mario sendirian dalam kesedihan.

Benda segi empat yang tergeletak di meja kecil, di samping brankar berdering pelan. Akila menoleh ke sumber suara namun tak berniat menggapai ponselnya.

"Kenapa dibiarin?" tanya Mario.

"Pasti Mami atau Papi," ujar Akila lesu. "Akila nggak mau bikin Papi Mami khawatir tapi Kak Mario malah kasih tau mereka kalo Akila demam." Pipi Akila menggembung dengan sorot sendu.

Ponsel kembali berdering. Melihat Akila tak kunjung bereaksi, Mario memilih bangkit lalu mengambil ponsel dengan softcase pink dengan motif buah strawberry itu. Ada gantungan berbentuk Hello Kitty menggantung di sisi ponsel.

Mario mengamati nama yang tertera dilayar cukup lama. "Bukan Papi Mami, tapi My Cukky," ujarnya buat mata Akila terbuka lebar. Mario tahu, itu Langit.

Akila menggeleng, agar Mario tak menerima panggilan itu. Namun ... detik berselang, Mario pun menempelkan ponsel Akila ke telinga.

"Kak Mario, jangan!" Akila menangkupkan kedua tangan, berharap Mario tak memberi tahu Langit, seperti yang dilakukan Mario pada kedua orang tuanya.

Mario memilih beranjak dan berbicara dengan Langit di luar ruangan. Rasanya, ia juga ingin jujur pada Langit, tentang kondisi Akila saat ini.

"Akila ada, dia lagi tidur."

"Ada pesan yang mau lo titip? Nanti kalo Akila udah bangun, gue bilangin."

Panggilan berakhir setelah Langit berkata dia akan menelepon di saat Akila sudah bangun.

Kedua pundak Mario merosot. Tak ada pilihan lain selain berbohong. Jika ia melakukan hal yang sama, takut Akila akan membencinya. Mario tak mau hal itu terjadi. Yang penting, Denada dan Aditama sudah tahu tentang Akila.

Layar ponsel Akila kembali redup. Mario pun masuk dan menaruh ponsel ke tempat semula kemudian duduk.

"Kak Mario ngasih tau Kak Langit?" tanya Akila hati-hati. "Akila nggak mau Papi, Mami, Kak Langit, dan Tarzan tau tentang ini. Akila cuma demam, jadi nggak perlu khawatir."

Mario bersandar. "Kakak bilang kamu lagi tidur. Langit bakal nelpon lagi nanti kalo kamu udah bangun."

Mendengar jawaban Mario membuat Akila lega. Ia tak ingin Langit khawatir. Ia hanya demam dan sedikit drop. Kedepannya, tenaganya akan pulih.

"Istirahat yang cukup, Akila," pinta Mario. Ia membenarkan selimut yang ada di tubuh sepupunya itu.

Ketukan di pintu membuat keduanya menoleh. Stevan menyembulkan kepala lalu menampilkan cengiran. Ia perlihatkan barang bawaannya yang membuat mata Akila berbinar.

I'm Not A Narsis Baby (ON GOING) Where stories live. Discover now