Bab 20 | Nafkah

2.2K 94 7
                                    

"Ami, bangun... waktu subuh udah mau habis ini."

"Ayo bangun, Mi, nanti kalau mau lanjut tidur boleh, asal setelah subuhan."

Aku merasakan tepukan pelan di pipiku dalam alam bawah sadarku, aku juga mendengar suara lelaki yang membuatku merasa terganggu. Padahal, aku sedang tidur dengan nyenyaknya, kenapa dia malah menggangguku? Mataku enggan membuka, hingga ketika tiba-tiba saja aku merasakan tubuhku melayang di udara, sontak aku langsung membuka mata dengan lebar.

"Dimas, apa yang kamu lakuin!?" teriakku ketika sadar kalau ternyata dia menggendongku.

"Aku mau bawa kamu ke kamar mandi," jawabnya yang membuatku melotot.

"Ngapain!? Turunin aku sekarang, Dim!" teriakku sambil berontak.

"Nanti aku turunin setelah sampai kamar mandi," ucapnya yang membuatku melotot.

"Nggak usah, turunin aku sekarang, Dim! Kakiku masih berfungsi dengan baik buat jalan ke kamar mandi!" pekikku.

Namun, dia sama sekali tidak mengindahkan perkataanku, dia justru menggendongku dan berjalan menuju kamar mandi meskipun aku sudah berontak.

"Kan udah aku bilang kalau aku bakal turunin kamu di kamar mandi," ucap Dimas saat dia akhirnya menurunkanku.

"Kamu cepat wudhu ya, aku tunggu kita shalat jamaah." Sebelum pergi bisa-bisanya dia menepuk kepalaku pelan.

"Kamu makin berani aja ya sentuh aku, awas aja kamu Dimas!" gerutuku.

Setelah selesai mengambil air wudhu, aku segera keluar dari kamar. Aku melihat dia duduk di tepi ranjang, dia tersenyum ketika aku keluar dari kamar mandi dan aku langsung menatapnya dengan sinis. Aku benar-benar kesal dengannya yang menyebalkan itu.

"Tunggu aku sebentar ya," ucapnya kemudian segera pergi ke kamar mandi.

"Ngapain juga aku nunggu dia?" gerutuku dan bodohnya aku tetap menunggu sampai dia selesai mengambil air wudhu.

Kami melaksanakan shalat subuh berjamaah, ini kedua kalinya kami melakukan ibadah itu bersama-sama. Pertama kali itu saat shalat maghrib di rumahku, entah kenapa aku merasa sejuk dengan keadaan ini. Jujur saja ibadah bersama suamiku nantinya itu adalah impianku dan kini terwujud walaupun bukan dengan lelaki yang aku cintai.

"Anterin aku pulang sekarang," ucapku padanya usai kami melaksanakan shalat subuh.

"Memangnya gerbang kos kamu udah buka?" tanyanya.

"Udahlah, dari selesai subuh seharusnya udah buka. Ayo anterin aku, aku nggak mau makin banyak yang tanya tentang aku yang tiba-tiba pergi, aku aja ini harus cari alasan saat nanti ketemu sama temenku."

"Agak siangan aja aku anterinnya, kita sarapan dulu ya, Ami," ucapnya yang membuatku terdiam, sejujurnya akh tidak bisa menolak makanan, apalagi jika makanan itu didapatkan gratis.

"Sarapan di mana?" tanyaku mulai tertarik.

"Di restoran hotel ini, kita nggak perlu bayar lagi karena yang aku bayar kemarin itu udah termasuk sarapan pagi ini."

"Wah iya, kita harus sarapan dulu. Sayang banget uang hampir dua juta kamu itu hangus kalau nggak sarapan di sini, rugi-rugi!" balasku yang membuatnya tertawa.

"Kenapa kamu ketawa?" tanyaku ketus.

"Kamu lucu," jawabnya kembali terkekeh.

"Aku nggak lagi ngelucu ya, Dimas, aku itu lagi serius. Kamu udah bayar mahal buat kita nginep di hotel ini, ya kali langsung pergi tanpa sarapan. Keenakan pemilik restorannya lah!"

Suddenly MarriageWhere stories live. Discover now